Indonesia Waspadai Ancaman Resesi
16 Juli 2020Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II atau April-Juni 2020 diproyeksikan banyak pihak akan negatif dan berujung pada resesi. Pakar ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Dr. Eddy Junarsin pun memberikan sejumlah saran agar Indonesia bisa keluar dari bayang-bayang resesi.
Eddy menyebut capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal III (Juli-September) 2020 menjadi penentu kondisi perekonomian Indonesia. Di kuartal tersebut pemerintah diharapkan bisa mengambil kebijakan yang lebih akurat terkait penanganan wabah virus corona atau COVID-19.
"Kalau kebijakan penanganan lambat atau tidak sinkron, maka efeknya akan berkepanjangan, dan semakin parah pula kondisi perekonomian kita. Waktu recovery-nya pun akan semakin panjang, karenanya penanganan COVID-19 ini perlu segera diperbaiki," kata Eddy dalam keterangan tertulis yang disampaikan humas UGM, Kamis (16/07)
"Di kuartal II atau April-Juni 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan minus antara -3,5% hingga -5,1%. Karenanya kuartal III sangat menentukan, kalau pertumbuhannya berlanjut negatif maka Indonesia masuk resesi," sambungnya.
Untuk keluar dari resesi, Eddy menyebut pemerintah perlu memberi stimulus dengan membentuk jaring pengaman sosial dan insentif bagi dunia usaha. Terlebih jika pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) nasional secara singkat.
Selain itu, stimulus moneter dengan penurunan suku bunga diharapkan bisa menarik minat investor untuk kembali melakukan ekspansi usaha.
"Dalam jangka pendek, metode darurat berupa pembelian kembali surat berharga pemerintah oleh Bank Indonesia (quantitative easing) perlu dilakukan untuk menopang perekonomian agar tidak lumpuh. Konsekuensinya memang akan menyebabkan inflationary pressure setahun ke depan, tapi diharapkan perekonomian bisa membaik setelahnya," jelas dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM ini.
Waspada dampak resesi Singapura
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah mewaspadai dampak resesi ekonomi yang dialami Singapura. Dirinya akan menjaga kontributor terbesar bagi pertumbuhan ekonomi nasional, yaitu tingkat konsumsi rumah tangga, ekspor, dan investasi.
Dia menceritakan, resesi di Negeri Singa itu dikarenakan ekonominya sangat bergantung pada perdagangan internasional. Di saat COVID-19 melanda banyak negara, maka perdagangan pun ikut terhenti sehingga hal itu berdampak besar bagi perekonomiannya.
"Domestic demand-nya tidak bisa mensubstitusi. Oleh karena itu penurunan dari Singapura sangat besar, karena memang tidak terjadi perdagangan internasional yang selama ini menjadi engine of growth-nya," kata Sri Mulyani di gedung DPR, Jakarta, Rabu (15/07).
Kejadian yang menimpa ekonomi Singapura pun menjadi perhatian bagi Sri Mulyani meski mesin utama penggerak perekonomian Indonesia berbeda. Agar ekonomi nasional tidak tertular resesi yang melanda Singapura, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini akan melakukan berbagai cara untuk menjaga tingkat konsumsi rumah tangga, ekspor, dan investasi. Salah satu upaya melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang menyasar enam klaster sekaligus.
"Kita tentu waspadai, karena bagaimanapun juga Indonesia engine of growth kita konsumsi, investasi, dan ekspor. Hari ini pemerintah menggunakan seluruh mekanisme anggarannya untuk mensubstitusi pelemahan di sisi konsumsi dan di sisi investasi maupun ekspor," ujarnya.
Beruntung terapkan PSBB?
Kini Presiden Joko Widodo (Jokowi) malah merasa beruntung karena telah memilih kebijakan PSBB untuk menghadapi pandemi virus corona ketimbang lockdown.
Jokowi memperkirakan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 2,97% tahun 2020. Itu semua berkat kebijakan PSBB yang dipilih, bukan lockdown.
"Beruntung sekali, kita sekarang ini, kondisi ekonomi kita, meskipun di kuartal II pertumbuhannya kemungkinan (negatif)," ujarnya ketika memberikan pengarahan di depan para gubernur di Istana Presiden Bogor, Jawa Barat, Rabu (15/07).
Meski kuartal II-2020 diperkirakan -4,3%, Jokowi merasa bersyukur dengan capaian itu. Dia percaya jika mengambil kebijakan lockdown saat itu, kontraksi ekonomi Indonesia akan jauh lebih dalam.
"Saya enggak bisa bayangin kalau kita dulu lockdown gitu mungkin bisa minus 17%," tuturnya.
Dia pun menjabarkan data prediksi pertumbuhan ekonomi dari negara-negara besar yang mayoritas mengambil kebijakan lockdown. Semuanya dianggap mengalami pertumbuhan ekonomi yang minus.
"Terakhir yang saya terima dari OECD, Perancis misalnya di angka minus 17,2%. Inggris minus 15,4%. Jerman minus 11,2%. Amerika (Serikat) minus 9,7%. Minus semuanya, negara-negara minus, enggak ada yang plus semua. Padahal di awal, IMF itu memperkirakan masih plus, (negara) yang plus itu China, India, Indonesia," ucap Jokowi. (Ed: rap/pkp)
Baca selengkapnya di: DetikNews
Ini Usul Pakar UGM Agar RI Keluar dari Jurang Resesi