Internasional Kutuk Serangan Israel terhadap Flotilla
1 Juni 2010Seluruh dunia melontarkan kemarahan kepada Israel, yang melakukan operasi militer terhadap kapal bermisi kemanusiaan Flotilla, yang menewaskan belasan aktivis. Konvoi enam kapal itu melibatkan 600 orang aktivis perdamaian, termasuk sejumlah pemenang Nobel, sejumlah warga Indonesia, dan sejumlah warga dan politikus Jerman.
Peristiwanya terjadi Senin dini hari (31/05). Pasukan komando Israel mencegat armada bantuan kemanusiaan Flotilla yang terdiri dari 6 kapal, yang saat itu masih berada di perairan internasional, sekitar 40 kilometer dari batas laut Gaza. Marinir Israel berlompatan dari helikopter mereka ke atas kapal-kapal Flotilla. Media melaporakan, setidaknya 19 orang tewas dalam operasi itu. Sementara Israel baru mengakui tewasnya 10 aktivis.
Pemerintah Israel berdalih, serdadunya dipaksa oleh keadaan. Juru bicara pemerintah Israel, Mark Regev, menuduh, para aktivis sengaja menyulut kekerasan. Marg Regev menuduh para aktivis itu sejak awal berusaha menjadikan misi mereka sebagai panggung politik, bukan semata-mata bermaksud mengirim bantuan kemanusiaan kepada rakyat Gaza. Karena katanya, sejak awal berulangkali pemerintah Israel dan Mesir sudah menawarkan untuk menyalurkan bantuan itu, namun ditolak oleh para aktivis yang bergabung dalam Gerakan Bebaskan Gaza itu.
Di pihak lain, juru bicara Gerakan Bebaskan Gaza menyatakan, misi Flotilla berkekuatan enam kapal itu tak semata-mata misi kemanusiaan, melainkan juga misi hak asasi manusia. Ditegaskannya, mereka tak cuma hendak mengirimkan bantuan kemanuaiaan, pangan obat-obatan, bahan bangunan dan lain-lain. Lebih dari itu, katanya, mereka memang bermaksud melakukan gerakan menembus blokade Israel terhadap Gaza.
Namun Audrey Bomse juru bicara Gerakan Bebaskan Gaza menegaskan, mereka melakukan semua itu dengan prinsip non-kekerasan. "Saya sendiri yang memberikan pelatihan kepada mereka mengenai perjuangan tanpa kekerasan. Kami tak akan pernah melancarkan perlawanan dengan kekerasan. Satu-satunya perlawanan yang bisa terjadi di kapal itu adalah perlawanan pasif. Seperti secara fisik melindungi ruang kemudi atau merintangi akses ke arah ruang mesin. Semuanya sekadar perlawanan simbolik belaka. Jadi jikapun konfrontasi terjadi, kami tak pernah membayangkan, sama sekali tak pernah membayangkan terjadinya kekerasan."
Di Washington, Gedung Putih menyampaikan penyesalan atas jatuhnya korban jiwa, namun masih menahan diri. Presiden Barack Obama memang masih sedang berlibur di Chicago. Obama sebetulnya diagendakan menerima Perdana Menteri Israel Netanyahu dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas di Gedung Putih hari Selasa (01/06). Namun Netanyahu yang masih berada di Kanada, membatalkan pertemuan itu. Betapapun, sebelum bertolak kembali ke negerinya, Netanyahu menegaskan dukungan penuhnya terhadap tindakan tentara Israel.
Turki negara Muslim yang merupakan sekutu Israel, membatalkan seluruh rencana latihan militer dengan Israel sebagai protes, dan memanggil duta besar Israel di Ankara, dan menarik duta besarnya dari Israel. Di New York, Dewan Keamanan PBB akan menggelar sidang darurat. Juga Liga Arab akan mengadakan sidang, seperti yang disampaikan Sekretaris Jenderal Liga Arab Amr Mousa, "Kami akan menggelar pembahasan serius, bukan sekadar tentang peristiwanya itu sendiri. Namun juga mengenai makna di balik itu. Bahwa tindakan brutal terhadap rakyat sipil seperti itu menunjukkan bahwa Israel tidak siap dan tidak tertarik dengan perdamaian."
Uni Eropa dan negara-negara anggotanya juga melontarkan kutukannya. Kanselir Jerman Angela Merkel menyatakan telah berbicara mengenai hal itu dengan PM Israel Benjamin Netanjahu dan PM Turki Recep Tayyip Erdogan. "Serangan militer Israel terhadap konvoi kapal kemanusiaan itu sangat mengguncangkan dunia. Sekarang yang mendesak adalah menyelidiki dan mengungkap kasus ini sesegera mungkin. dan menjaga agar ketegangan tidak meningkat Kami mendesak dilakukannya penyelidikan yang transparan. Peristiwa itu harus diselidiki segera dan secara seksama, dan setuntasnya."
Paramita/afp/dpa/rtr
Editor: Ging Ginanjar