1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanAsia

Iran Laporkan Eksodus Tenaga Kerja Kesehatan ke Luar Negeri

6 September 2024

Sejak beberapa pekan, tenaga perawat di Iran melakukan aksi mogok nasional demi kondisi kerja dan upah yang lebih baik. Kebanyakan ingin beremigrasi ke Eropa, terutama ke Jerman.

https://p.dw.com/p/4kJyN
Protes perawat Iran
Aksi protes tenaga perawat IranFoto: Khabaronline

Sejak awal Agustus telah berulang kali terjadi pemogokan oleh perawat dan tenaga kerja kesehatan di seluruh Iran. Mereka mengeluhkan jam kerja yang panjang, gaji yang rendah, dan kerja lembur yang dipaksakan.

Protes dimulai pada 2 Agustus, setelah kematian perawat Parvaneh Mandani, 32 tahun, dari Provinsi Fars. Perempuan muda itu meninggal dalam tidurnya, menurut media Iran, karena apa yang disebut sindrom Karoshi. Istilah Jepang "Karōshi" berarti "kematian karena terlalu banyak bekerja". Hal ini disebabkan oleh kerja berlebihan dan stres yang memicu serangan jantung atau stroke.

Kelelahan sebagai penyebab kematian

Kasus Parvaneh Mandani adalah kematian mendadak ketiga yang dialami seorang perawat Iran dalam sebulan terakhir, dan memicu kemarahan di kalangan perawat di seluruh negeri. Pada awal September, protes damai telah dilaporkan terjadi di hampir semua kota besar dan di lebih dari 50 kota di penjuru negeri.

Iran: Why suicide rates are rising among doctors

“Pemerintah telah berjanji untuk segera membayar gaji para perawat dan menaikkan gaji mereka. Namun, janji itu tidak akan cukup,” kata Hadi Yazdani dalam wawancara dengan Deutsche Welle. Dia adalah seorang dokter dan tinggal di Kota Isfahan, Iran tengah.

Dalam percakapannya dengan media Iran, dia telah lama memperingatkan tentang konsekuensi dari beban kerja perawat yang sangat besar. “Mereka beremigrasi,” kata Yazdani, sambil menambahkan: “Banyak dari mereka mulai belajar bahasa asing selama pelatihan.”

Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Negara tujuan Denmark dan Jerman

Saat ini, tidak ada statistik resmi mengenai jumlah staf perawat yang telah beremigrasi. Namun Ahmad Nejatian, Kepala Asosiasi Keperawatan Iran, membenarkan bahwa tren emigrasi semakin meningkat dalam dua tahun terakhir.

Nejatian memperingatkan eksodus massal tenaga perawat dalam wawancara dengan kantor berita Fars, Senin (02/09). Denmark dan Jerman adalah negara tujuan pilihan bagi tenaga kerja kesehatan yang ingin beremigrasi.

"Permintaan untuk Sertifikat Kepatutan meningkat dua kali lipat dalam dua tahun terakhir." Dokumen ini membuktikan kemampuan perawat untuk bekerja di bidang akademik atau non-akademik di luar negeri.

Fatemeh juga mengajukan permohonan untuk mendapat sertifikat tersebut. Perawat berusia 28 tahun itu memiliki pengalaman profesional selama empat tahun dan bisa mendapatkan pekerjaan di Jerman, katanya kepada Deutsche Welle.

Dia memimpikan masa depan yang lebih baik dan kondisi kerja yang adil. “Seperti banyak rekan lain yang juga ingin pindah ke Jerman, saya ingin tinggal di negara di mana hak-hak saya tidak dilanggar dan saya bisa maju dengan kinerja yang baik,” kata dia.

Fatemeh dan rekan-rekannya mencari lowongan pekerjaan di Jerman melalui Internet. Selain agen tenaga kerja yang menawarkan layanan dalam bahasa Farsi, mereka juga menyimak konten influencer di jejaring sosial yang memberikan tip kepada staf perawat untuk beremigrasi.

Ambruknya sistem layanan kesehatan Iran?

Yazdani, seorang dokter di Iran, mengaku prihatin dengan masa depan sistem layanan kesehatan di negerinya. “Setiap perawat yang bermigrasi jumlahnya terlalu banyak,” tuturnya.

“Kita tidak dapat dengan mudah mengganti mereka. Masalahnya, selain gaji yang buruk dan kondisi kerja yang berat, adalah keputusasaan mereka akan kehidupan yang lebih baik di negara ini. Karena krisis ekonomi yang sedang berlangsung, kita mengalami inflasi yang sangat tinggi. Tidak ada kenaikan gaji yang dapat mengimbangi inflasi ini."

Is Iran's economy ready for war?

Inflasi di Iran rutin melampaui angka 40 persen setiap tahunnya. Khususnya bahan pangan paling terdampak kenaikan ongkos produksi. Harga daging, misalnya, menjadi 90 persen lebih mahal dibandingkan tahun lalu, sementara harga ikan meningkat sebesar 60 persen.

Inflasi semakin dipicu oleh terus merosotnya mata uang lokal, rial, akibat sanksi ekonomi terhadap Iran. Anjloknya nilai tukar rial membuat biaya impor menjadi jauh lebih mahal.

Pemerintahan baru, beban lama

Ketika dilantik pada 27 Agustus lalu, Menteri Kesehatan Iran yang baru, Mohammad Reza Zafarqandi, berjanji akan mendukung hak dan tuntutan perawat. Pada saat yang sama, ahli bedah jantung tersebut mengakui bahwa pemerintah baru akan membayar tunggakan gaji dan bonus staf perawat senilai lebih dari 75 triliun rial atau setara dengan Rp2,9 triliun

Jumlah ini niatnya akan ditransfer ke rekening staf perawat dalam beberapa tahap. Anggaran untuk ini berasal dari “Dana Pembangunan Nasional”.

Anggaran tersebut diambil dari sebagian pendapatan minyak negara demi pembangunan ekonomi dan investasi pada proyek-proyek non-minyak. Dana tersebut dimaksudkan untuk berkontribusi dalam mendiversifikasi perekonomian dan menjamin kesejahteraan bagi generasi mendatang.

Tapi di tengah embargo dan krisis ekonomi, menurut informasi resmi, lebih dari USD100 miliar telah “dipinjam” dari dana pembangunan dalam beberapa tahun terakhir, namun belum dilunasi.

Pemerintah membiayai 40 persen anggarannya dengan pendapatan dolar dari ekspor minyak. Karena perselisihan mengenai program nuklir Iran, Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terhadap perdagangan minyak Republik Islam.

Sebabnya, Iran menjual hasil minyaknya di bawah harga pasar, terutama ke Cina. Menurut kantor berita Reuters, harga satu barel atau sekitar 280 liter minyak ringan Iran untuk Cina adalah lima dolar di bawah harga pasar dunia untuk jenis Brent dari Laut Utara.

(rzn/yf)