Siapa Penabur Kebencian ?
4 November 2015Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti tanggal 8 Oktober 2015 mengeluarkan Surat Edaran (SE) dengan Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Surat itu sekarang memicu pemberitaan yang riuh rendah. Ada kritik, ada yang ketakutan, ada yang mengingatkan orang lain agar hati-hati menulis di internet atau media sosial.
Tiba-tiba saja, suasana kebebasan mengutarakan pendapat di Indonesia jadi buram, seperti mendung langit musim gugur di Eropa. Kita tidak tahu apa motivasi Kapolri Haiti mendadak ingin membuat regulasi sendiri tentang penanganan ujaran kebencian. Hati orang, hanya Tuhan yang tahu.
Tujuan Kapolri, sebagaimana dia nyatakan dalam pernyataan kepada wartawan akhir Oktober lalu, adalah: "Karena para Kasatwil (Kepala Satuan Wilayah -red) perlu penegasan dalam menangani perkara-perkara seperti itu. Agar kita jangan dibilang ragu-ragu lagi."
Jadi, Kapolri tampaknya menyadari bahwa masyarakat menganggap kepolisian kurang tegas. Untuk menghilangkan kesan itu, Kapolri mengeluarkan semacam pengarahan, agar anggotanya tidak ragu-ragu menindak para pelanggar hukum.
Itu tentu saja maksud yang baik. Walaupun masalah ujaran kebencian sebenarnya bukan masalah aktual saat ini, tapi soal kebakaran hutan. Lalu, apakah kepolisian kelihatan tegas soal penindakan para pembakar hutan? Sangat jauh dari itu. Kepolisian malah di sini terlihat sangat hati-hati, kalau tidak mau disebut takut-takut.
Kita tahu, mengapa Kapolri sangat ragu dan hati-hati betindak tegas terhadap tersangka pelaku pembakaran hutan, misalnya perusahaan Wilmar. Karena Dewan Komisaris perusahaan itu isinya adalah mantan pejabat-pejabat tertinggi Kepolisian RI, notabene para senior Kapolri Badrodin Haiti sendiri.
Citra kepolisian memang sangat rendah di Indonesia. Bukan rahasia lagi, kepolisian adalah salah satu institusi yang paling korup di mata publik. Kasus calon Kapolri Budi Gunawan, yang sekarang mulai dilupakan, makin mencoreng citranya. Siapa menabur, dia akan menuai.
Kalau Kepolisian RI ingin masyarakat melihat mereka bertindak tegas, mengapa mereka tidak menindak tegas para pembakar hutan? Dan bukannya malah mencuatkan isu bahaya ujaran kebencian (media di Indonesia lebih senang menyebutnya "hate speech")?
Mantan Presiden Yudhoyono menyatakan, 70 persen kebakaran hutan di Indonesia adalah akibat pembakaran, artinya sengaja dibakar. SBY seharusnya tahu tentang itu, sebab dia 10 tahun menjabat sebagai Presiden. Lalu, mengapa polisi penuh keraguan menjalankan tugasnya untuk menegakkan hukum? Pertanyaan demi pertanyaan, yang perlu ditelusuri lebih jauh lagi oleh media.
Melemparkan pertanyaan bukan bentuk ungkapan kebencian, melainkan upaya mencari kejelasan.
Misalnya pertanyaan: Apakah isu SE Ujaran Kebencian ini memang sengaja dicuatkan untuk menutup-nutupi isu pembakaran hutan? Sehingga media di Indonesia sekarang ribut-ribut mempersoalkan, media sosial riuh rendah membicarakan.
Padahal isu mendesak saat ini adalah: mengusut siapa pembakar hutan. Agar tahun depan tidak terjadi lagi. Karena nanti kita akan jadi ejekan dan bulan-bulanan negara tetangga. Pemerintah Indonesia sudah berjanji pada Malaysia: next year, no haze.
Tapi kalau kepolisian sekarang dibuat sibuk meneliti 180 ribu akun di media sosial facebook dan Twitter, lalu harus mengidentifikasi dengan analisa teks, mana yang mengandung ujaran kebencian mana yang tidak, kemudian sibuk mengetik nama-nama akun itu, yang belum tentu juga memuat identitas penulisnya secara jelas.., maka saya sangat pesimis, Indonesia bisa memenuhi janjinya pada Malaysia.