Jadi Tuan Rumah G20, Kedekatan India dan Rusia Disoroti
2 Maret 2023Rusia berencana mengikuti pertemuan Menteri Luar Negeri negara-negara anggota G20 minggu ini di New Delhi, India. Namun, rencana ini mendapat tantangan dari sejumlah negara di belahan bumi selatan. Bagaimanapun, beberapa negara seperti India dan Turki masih memandang Rusia sebagai mitra Rusia, meski di tengah agresi Kremlin ke Kyiv.
India punya tantangan tersendiri sebagai Presiden G20 tahun ini, yakni menghasilkan penyataan yang ditandatangani oleh semua peserta. Ashok Malik, mantan penasihat Kementerian Luar Negeri India, yang sekarang mengepalai The Asian Group, sebuah perusahaan penasihat bisnis yang berkantor di Washington, Amerika Serikat, mengatakan India akan berusaha untuk menghasilkan pernyataan tersebut. Namun, negara itu akan menekankan pada ketidaksetaraan dan tantangan pembangunan yang dihadapi banyak negara di Afrika, Asia, dan Amerika Latin saat ini.
Akan tetapi, perang Rusia di Ukraina tampaknya telah menyedot perhatian negara-negara Barat dari masalah ini. Malik menambahkan bahwa keadaan ini juga diperburuk oleh krisis pupuk, pangan, dan energi yang disebabkan oleh pandemi dan perang Rusia di Ukraina. Lebih lanjut ia menggambarkan bahwa India punya keterkaitan mendalam dengan nilai-nilai Barat, tapi juga sangat dekat dengan negara-negara di belahan bumi bagian Selatan. Karena itu, India diharapkan untuk menjadi jembatan bagi anggota G20.
Selama ini India telah berusaha menahan diri dari melontarkan kritik ke Kremlin. Kedua negara ini memang punya kedekatan historis sejak tahun 1950-an. Selama masa Perang Dingin, India dan kala itu Uni Soviet membangun relasi yang kuat dan strategis. Namun, dalam kunjungan Kanselir Jerman Olaf Scholz di New Delhi baru-baru ini, Perdana Menteri Narendra Modi menyatakan bahwa India bersedia bergabung dalam pembicaraan damai apa pun untuk menyelesaikan krisis ini.
Perbedaan pendapat tentang perang Rusia
Malik mengatakan bahwa ia tidak akan begitu saja mengategorikan masyarakat India sebagai anti-Barat dan pendukung Rusia. Namun, ia mengakui bahwa "Rusia tidak akan menghilang begitu saja dari pertimbangan politik luar negeri India."
Tampaknya, ini juga adalah sentimen yang dimiliki oleh banyak negara berkembang. "Saya kira masalahnya di sini adalah adanya perbedaan persepsi tentang mengapa perang terjadi," Elizabeth Sidiropoulos, Kepala Institut Urusan Internasional Afrika Selatan (SAIIA), mengatakan kepada DW. "Bagi pemerintah Afrika Selatan, ini adalah perang proksi."
Tidak lama setelah invasi Rusia, Afrika Selatan mendesak Kremlin untuk segera menarik pasukannya dari Ukraina. Namun, sejak itu, nada negara tersebut telah berubah. Pada Januari lalu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengunjungi Pretoria, Afrika Selatan, sebagai bagian dari tur di Afrika.
Selama kunjungan tersebut, kedua negara berjanji untuk memperkuat hubungan bilateral dan mengumumkan latihan angkatan laut bersama Cina. Pejabat Afrika Selatan telah berulang kali mengatakan bahwa mereka tidak memaafkan invasi Rusia, tetapi tidak mau jika harus dipaksa memilih untuk berada di pihak mana.
Apakah Perang Rusia di Ukraina cuma masalah Eropa?
Banyak negara Afrika tidak memandang perang di Ukraina sebagai krisis keamanan global, kata Sidiropoulos. Sebaliknya, mereka melihatnya sebagai masalah Eropa "dengan konsekuensi global".
Mereka merasa sekutu Barat Ukraina mencoba membajak forum G20 dengan mengorbankan isu-isu krusial seperti aksi iklim atau menangani pembangunan di benua itu. Oleh karena itu, tanggapan mereka adalah: "Kami akan membuat keputusan sendiri. Jangan menggertak kami," menurut Sidiropoulos.
Jadi Barat sebenarnya tengah berjuang memenangkan hati dan pikiran di apa yang disebut negara-negara bagian Selatan atau Global South, terlepas dari kekejaman Rusia yang dilakukan di Ukraina.
Menurut survei global baru yang diterbitkan oleh Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri (ECFR), aliansi Barat tetap bersatu dalam dukungannya untuk Ukraina, tetapi jurang antara perspektif mereka dan kekuatan lain di dunia semakin melebar.
Menentukan strategi yang sukses
"Penting untuk memahami persepsi yang berbeda dari berbagai kekuatan yang akan dibahas di G20, dan memperlakukan mereka sebagai aktor kedaulatan independen sebagaimana adanya," menurut pakar kebijakan senior ECFR Susi Dennison kepada DW. Dia mendukung pendekatan pragmatis yang menurutnya perlu jadi bagian dari diplomasi jenis baru di panggung global.
Eropa dan AS tidak boleh membiarkan Rusia membingkai perang di Ukraina sebagai Barat versus keseluruhan konflik yang ada di dunia, kata Dennison. Dia menunjukkan bahwa ini akan membuat Barat kian kesulitan dalam masalah pengiriman barang di tingkat global, perubahan iklim dan menopang rantai pasokan produksi.
Aturan tatanan dunia selepas era Perang Dingin tampaknya akan ditulis ulang dan beberapa orang khawatir dunia akan jatuh ke dalam Perang Dingin 2.0 kata Elizabeth Sidiropoulos dari Institut Urusan Internasional Afrika Selatan.
(wp/ae/yf)