Jaringan Teror di Maghribi Makin Terorganisir
24 Januari 2013Para teroris merencanakan aksinya dengan baik. Mereka tidak hanya membawa senjata berat. Mereka juga punya peta lengkap dari instalasi gas In Amenas di Aljazair timur. Mereka sudah mengintai secara cermat kegiatan di ladang gas itu. Mereka dibantu oleh orang yang pernah bekerja di tempat itu.
Perdana Menteri Aljazair Abdelmalek Sellal menerangkan, tadinya perundingan akan dilakukan dengan para penyandera. Tapi tuntutan para teroris, terutama pembebasan semua anggotanya dari penjara, tidak mungkin dipenuhi, Akhirnya diputuskan untuk menyerang para teroris, sekalipun ini tidak mudah, karena instalasi gas dan kompleks perumahan karyawan di In Amenas luas seluruhnya 14 hektar lebih.
Aksi pembebasan yang riskan
Aksi pembebasan itu akhirnya menewaskan sedikitnya 37 orang sandera. Tapi jumlah korban dipastikan jauh lebih banyak. Beberapa jenazah masih harus diidentifikasi. 32 teroris pelaku penyanderaan juga tewas. Beberapa pelaku yang masih hidup ditangkap.
Perdana Menteri Aljazair Abdelmalek Sellak menyebut operasi pembebasan itu sebagai ”sinyal yang tegas” dari permerintahnya. ”Aljazair telah membuktikan kemampuannya untuk melancarkan operasi semacam itu dalam rangka perang melawan terorisme. Seluruh dunia mengakui dan menghargai kemampuan Aljazair dan caranya menangani aksi penyanderaan.”
Aparat keamanan Aljazair memang sejak lama mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan teror. Setelah era perang saudara tahun 1990-an, Aljazair tetap jadi sasaran aksi terorisme, kata ahli Afrika Utara dari International Crisis Group (ICG) Willian Lawrence kepada Deutsche Welle.
”Tahun 2002 Aljazair menyatakan era perang saudara sudah berakhir. Tapi para pelaku teror masih tetap aktif. Memang aksi kegiatan teror menurun. Namun jaringan teror masih tetap ada", tegas dia.
Persembunyian di kawasan Sahel
Ahli politik dari Universitas Marburg, Rachid Ouaissa menerangkan kepada DW, ada yang berubah di Aljazair. Perang panjang melawan terorisme memang berhasil meredam aksi teror di Aljazair utara. ”Sebagai gantinya, para teroris bergerak ke selatan. Terutama ke kawasan Sahel yang lebih tidak stabil. Di sana mereka tetap beroperasi.”
Kawasan Sahel memang sulit diawasi. Situasi di kawasan ini jadi makin kacau, setelah rejim Gaddafi di Libya runtuh. Banyak senjata dan tentara bayaran yang lari dan bersembunyi di Sahel. ”Ditambah lagi dengan situasi kacau di Mali. Sejak sepuluh tahun Mali menjadi negara yang rapuh”, kata Ouaissa.
Di kawasan perbatasan antara Aljazair dan Mali, para teroris menemukan tempat persembunyian yang ideal, papar William Lawrence. Mereka kenal baik daerah gurun Sahara. ”Mereka bergerak dengan sangat cepat melewati ribuan kilometer. Perbatasan negara tidak jadi masalah.”
Kelompok teror ini memanfaatkan situasi kacau di daerah-daerah padang pasir yang sulit dicapai, terutama di kawasan Mali. Pemerintah Mali memang tidak mampu mengawasi kawasan utara. ”Para teroris memanfaatkan kelemahan negara untuk melakukan operasinya. Mereka melakukan penyelundupan obat bius, senjata, sampai perdagangan manusia. Mereka juga punya spesialisasi melakukan aksi penculikan,” kata Lawrence.
a menambahkan, Mali menghadapi banyak masalah politik dan masyarakat. Kondisi ini dimanfaatkan oleh jaringan teror untuk memperkuat posisinya dan menjaring lebih banyak simpatisan.
Rencana Makar
Menurut Rachid Ouaissa, agenda para jihadis bukan hanya tindakan kriminal saja. Sejak serangan teror 11 September 2001, terorisme jihadis memasuki dimensi baru. Mereka ingin menggulingkan kekuasaan di berbagai negara. ”Pertama-tama mereka mencari negara yang dulunya dianggap sebagai negara berkembang”. Para jihadis sebelumnya fokus pada kawasan Timur Tengah. ”Tapi sekarang mereka mulai memperluas daerah operasinya, yaitu ke arah Afrika”.
Ada banyak indikasi bahwa di banyak negara Afrika, yang dulu menjadi daerah jajahan barat, struktur kekuasaan sedang berubah. Sedang muncul struktur kekuasaan baru. Ini terjadi di banyak negara Afrika. Sekarang muncul banyak pelaku politik baru, jadi situasinya lebih kompleks dibanding dulu. ”Yang sekarang ada bukan hanya seroang penguasa atau diktator, tapi banyak pemain politik baru.”
Strategi baru untuk menghadapi tantangan baru
Perkembangan ini akan membawa gejolak di negara-negara seperti Mali, Chad dan kemungkinan besar di Mauritania. Tidak tertutup kemungkinan akan terjadi perubahan besar di kawasan ini. Sedangkan di Aljazair, posisi pemerintah kelihatannya makin kuat setelah insiden penyanderaan.
”Aljazair akan menjadi salah satu kekuatan sentral di kawasan ini. Dengan demonstrasi kekuatan dalam insiden di In Almenas, Aljazair telah menunjukkan diri sebagai mitra yang dapat dipercaya;” demikian ahli politik Rachid Ouaissa.
Tapi militer Aljazair tidak bisa menyelesaikan masalah terorisme sendirian saja. ”Aksi penyanderaan menunjukkan, bahwa sangat diperlukan sebuah strategi baru untuk menanggulangi terorisme.
Institusi lain harus ikut dilibatkan: sekolah-sekolah, kelompok agama, pemerintah dan parlemen. Sebuah negara hukum tidak bisa hanya dibela dengan senjata.” Rachid Ouaissa menyimpulkan, yang diperlukan sekarang adalah politik ekonomi dan sosial dengan argumen yang jelas. Karena makin terlihat bahwa jaringan terorisme tidak hanya memanfaatkan ketimpangan sosial. Mereka juga memanfaatkan pemikiran ideologis dari kelompok politik yang makin radikal.