Polarisasi masyarakat yang sedang berlangsung belakangan ini, sebagai akibat praktik politik identitas, diperkirakan hanya akan berlangsung sementara. Ketika keriuhan Pilpres (pemilihan presiden) berlalu, diharapkan kohesi sosial secara perlahan akan pulih kembali. Setidaknya itu bisa dilihat dari perkembangan politik mutakhir, ketika elemen koalisi pendukung pasangan Prabowo – Sandiaga, seperti Partai Demokrat, PKS dan PAN, tidak sekeras sebelumnya demi melihat hasil hitung cepat (quick count).
Membaca wacana yang berkembang dalam kampanye pilpres baru-baru ini, publik seolah tersandera dengan isu primordial yang tiada habisnya. Isu primordial telah dieksploitasi sedemikian rupa, bahkan sampai ke kawasan permukiman. Benar, kini sudah mulai bermunculan kawasan hunian atau cluster, khusus bagi yang beragama tertentu saja.
Model polarisasi masyarakat berdasarkan sentimen primordial sebenarnya bukan fenomena baru. Praktik seperti itu pernah terjadi masa Orde Baru, saat Ali Moertopo bersama lembaga (intelijen) yang dia pimpin, yaitu Opsus (operasi khusus), sempat melakukan rekayasa terhadap kelompok yang dikategorikan Islam garis keras, dengan tujuan akhirnya untuk melemahkan citra (politik) Islam.
Opsus memang akhirnya pupus, bersamaan dengan meninggalnya Ali Moertopo pada Mei 1984, namun model rekayasa dan pembentukan opini gaya Opsus, telah menjadi genre tersendiri dalam politik Indonesia, termasuk yang kita saksikan dalam pilpres baru-baru ini. Opsus dulu terkenal dengan jaringannya yang sangat kuat, dan tentu sebagian jaringan itu masih aktif sampai sekarang.
Politik aliran
Dalam merekayasa polarisasi di masyarakat, untuk sebagian Ali Moertopo terinspirasi oleh konsep lima aliran (politik) yang dulu diperkenalkan oleh Indonesianis Herbert Feith. Lima aliran politik dimaksud adalah: nasionalisme radikal, tradisionalisme jawa, Islam, sosialisme-demokrat, dan komunisme. Namun yang perlu diingat, lima aliran ini dirumuskan Herbert Feith untuk memahami dinamika politik Indonesia di awal kemerdekaan, sampai tahun 1965. Ketika Orde Baru lahir, praktis tinggal dua (aliran), yakni Islam dan tradisionalisme jawa, yang tetap bisa hidup. Sementara tiga aliran lain diberangus, karena dianggap tidak sesuai dengan visi Orde Baru.
Masih hidupnya dua aliran tersebut tentu tidak bisa dilepaskan dari peran Ali Moertopo. Soal aliran tradisionalisme jawa misalnya, itu bisa dihubungkan dengan latar belakang Ali sendiri, yang dianggap dekat pada tradisi kejawen (atau abangan). Bila kita mengingat lembaga pemikiran (think tank) yang didirikan Ali Moertopo (bersama Soedjono Hoemardani), yakni CSIS, terasa demikian kuat atmosfer kejawen-nya, setidaknya pada periode awal CSIS, pada tahun 1970-an.
Soedjono dikenal luas sebagai penasihat spiritual (mantan) Presiden Soeharto. Ali dan Soedjono sudah membantu Soeharto, sejak yang terakhir ini masih menjadi Panglima Kodam Diponegoro, sebuah komando pasukan yang dikenal sejak lama mengadopsi nilai-nilai kejawen. Wajar saja saat keduanya mendirikan CSIS, nilai-nilai kejawen ikut terbawa juga.
Pembentukan CSIS, setidaknya di masa awal, memang disiapkan bagi diseminasi pemikiran Ali Moertopo. Salah satunya adalah mengintrodusir konsep "massa mengambang” (floating mass), sebagai cara menghapus politik aliran. Pada gilirannya konsep ini mendorong berdirinya organisasi tunggal bagi golongan masyarakat, tujuannya agar lebih mudah dimobilisasi, seperti wartawan (PWI), guru (PGRI), pemuda (KNPI), pegawai negeri (Korpri), petani (HKTI), buruh (SPSI), dan seterusnya.
Semua organisasi tersebut terafiliasi pada Golkar, sebuah partai atau kekuatan politik, yang tidak bisa masuk dalam kategorisasi lima aliran di atas. Golkar sepenuhnya adalah rekayasa rezim Soeharto, dengan dukungan militer dan birokrasi, agar bisa berkuasa secara terus menerus.
Terhadap aliran Islam, Ali Moertopo bersama Opsus melakukan penggalangan (conditioning) untuk kepentingan kekuasaan. Penggalangan pada sebagian kelompok Islam, umumnya dari sempalan gerakan DI/TII, dengan tujuan akhirnya untuk melemahkan PPP, satu-satunya partai saat itu, dan karenanya dianggap pesaing paling potensial Golkar. Sementara PDI, relatif lebih mudah dikendalikan.
Modifikasi gaya Opsus
Setiap menjelang pemilu di masa Orba, selalu muncul rekayasa politik, yang tujuannya untuk mendiskreditkan PPP, seperti isu Komando Jihad (Pemilu 1977), Peristiwa Woyla (1981), serta Peristiwa Lapangan Banteng, menjelang Pemilu 1982. Semua ini adalah hasil kerja Opsus. Sekadar diketahui, pada Pemilu 1977, PPP bisa unggul dari Golkar di wilayah Jakarta, kota yang dihuni dengan mayoritas kaum terdidik.
Gaya kerja Opsus kini seperti berulang. Kita bisa melihat sendiri, ketika menjelang pilpres atau pilkada, ada aliran politik yang selalu dihidupkan kembali, yaitu komunisme. Termasuk dalam Pilpres 2019 baru-baru ini, aliran komunisme "dihidupkan” kembali untuk mendiskreditkan seorang kandidat. Salah seorang figur yang selalu dihubungkan dengan ideologi tersebut adalah capres petahana Joko Widodo.
Seperti metode kerja Opsus dulu dalam merekayasa sebuah isu, yang tujuannya menggiring opini publik, demikian juga yang terjadi hari ini. Gerakan seperti Komando Jihad sejatinya sekadar akal-akalan dari Opsus, untuk memberi kesan Islam itu berbahaya. Dari perjalanan waktu, kedok sebenarnya terbongkar. Beberapa tokoh yang dicitrakan sebagai pimpinan Komando Jihad, seperti Danu Muhammad, Haji Ismail Pranoto (Hispran), dan Ateng Jaelani, ternyata adalah orang binaan Ali Moertopo.
Mirip dengan situasi sekarang, aliran "komunisme” hanya dijadikan komoditas politik murahan. Termasuk juga penanda minoritas lain, seperti agama dan suku tertentu, bahkan sesuatu yang sangat personal, seperti orientasi seksual. Rekayasa isu seperti ini, tentu akan reda dengan sendirinya usai pilpres. Hari-hari ini kita melihat, elemen koalisi pendukung pasangan Prabowo - Sandiaga mulai melunak, usai melihat hasil hitung cepat. Partai seperti PKS, Partai Demokrat, dan PAN, telah mencari jalan sendiri-sendiri untuk merapat ke kubu Jokowi. Bahwa sesungguhnya, "aliran” yang senantiasa eksis pada masyarakat kita adalah pragmatisme.
Residu sebuah zaman
Pada masa Orde Baru, kita akan lebih mudah melakukan konfirmasi, karena setiap insiden skala besar selalu dihubungkan dengan Opsus, terlepas dari benar-tidaknya. Seingat saya, Ali Moertopo jarang sekali memberi pernyataan secara terbuka pasca peristiwa, entah membenarkan atau mengingkari. Ali memang intelijen sejati, dia membiarkan publik untuk menebak-nebaknya sendiri.
Kegalauan publik baru terasa, sesudah Ali Moertopo meninggal, ternyata insiden atau peristiwa kekerasan masih saja terjadi, seperti kasus Tanjung Priok (1984) dan peledakan Candi Borobudur (1985). Masyarakat hanya bisa bertanya-tanya, siapa lagi ini yang bermain, adakah pemain baru, mengingat pemain yang lama sudah meninggal dunia.
Memang pertanyaan itu tidak pernah terjawab, karena figur yang dianggap penerus estafet kepemimpinan Opsus, yaitu Benny Moerdani, saat itu justru sedang berjaya, menjabat Panglima ABRI (Panglima TNI) merangkap Pangkopkamtib. Menjadi tidak logis, ketika pertanyaan itu diarahkan ke Benny. Masih belum clear sampai sekarang, apakah Benny masih mengikuti gaya seniornya, merekayasa kasus untuk kemudian ditumpasnya sendiri.
Asumsi selama ini mengatakan, bahwa setiap konflik horizontal yang terjadi selama ini merupakan dampak dari persaingan di tingkat elite. Seperti yang dilakukan Opsus dulu, lembaga ini merekayasa berbagai kasus atau peristiwa, sebagai bentuk intimadasi pada kelompok atau pihak yang berpotensi melawan Soeharto. Keberadaan Opsus sejatinya adalah residu sebuah era, yang kiranya cukup sekali saja dilahirkan.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.