Jejak ISIS di Filipina
12 April 2019Masjid Bato dulunya adalah sebuah rumah ibadah yang indah dengan kubah hijaunya. Sekarang, yang terlihat hanyalah kerangka bangunan dengan atap bolong-bolong dengan hanya menara yang tersisa dari pemboman dua tahun lalu.
Awalnya semua orang berpikir itu "hanyalah lelucon”, kenang Norodin Lucman. Dia berasal dari sebuah keluarga dengan pengaruh Muslim yang kuat di kota Marawi, kota berkibarnya bendera hitam ISIS untuk beberapa bulan. "Bagaimana Anda bisa menyerang sebuah kota dan menyandera puluhan warganya?”, tapi itu terjadi. "Seperti itulah sebuah terorisme bekerja,” jelas Lucman.
Kekhalifah di Asia Tenggara
Dengan lebih dari 200 ribu penduduk, Marawi adalah kota Muslim terbesar di Filipina, negara yang didominasi oleh pemeluk Katolik. Kota ini berlokasi di tepi Danau Lanao di Mindanao, pulau kedua terbesar di Filipina.
Pada tahun 2017 lalu, dua orang warga lokal simpatisan ISIS bersikeras ingin mengubah Marawi menjadi ibu kota kekhalifahan di Asia Tenggara.
Mereka hanya memiliki beberapa ratus anggota, tetapi antara bulan Mei hingga Oktober berhasil menduduki pusat kota tua. Jihadis ISIS ini telah menyandera, membunuh warga Kristiani dan memasuki masjid-masjid, seperti Masjid Bato Ali.
Para teroris menggambarkan tentara besenjata Filipina adalah yang terkuat yang pernah mereka hadapi sejak Perang Dunia II. Pada akhirnya, serangan udara digunakan dengan bantuan yang besar dari Amerika Serikat untuk melawan para teroris ini. Lebih dari 1.200 orang tewas.
Marawi "hanyalah permulaan”
Kini, kerusakan di Marawi sama parahnya dengan kerusakan di kota Raqqa di Suriah atau Mosul di Irak. Kota Marawi dijanjikan akan dibangun ulang. Namun, rekonstruksi hampir sama sekali belum dimulai. Puluhan ribu orang yang meninggalkan kota masih menempati tenda-tenda darurat. Darurat militer berlaku sepenjuru Mindanao. Para teroris ISIS bergerak diam-diam. Sebuah bom mematikan pada 17 Januari 2019 lalu menghancurkan katedral di Pulau Jolo, pulau yang bertetangga dengan Mindanao, ISIS mengaku bertanggungjawab atas peristiwa itu.
Marawi "hanyalah permulaan", tegas Norodin Lucman. Sebagai pemimpin yang bersih, ia cukup dihormati di wilayahnya. Dia juga mengenal beberapa anggota ISIS di Marawi secara pribadi: anak muda yang marah dan tidak puas atas lingkungannya sendiri. Pada hari ke-12 pengepungan, ISIS mengizinkan Lucman membawa 150 warga sipil, Muslim dan Kristiani untuk keluar dari zona pertarungan.
Pemboman dan kerusakan di Marawi telah meninggalkan "banyak kesengsaraan, kebencian, kemarahan dan kebiadaban setiap harinya", ujar Lucman. Jika pemerintah tidak mengambil langkah yang besar untuk menyingkirkan masalah ini, "akan ada pemberontakan lainnya”, tambah Lucman ketika berbicara tentang "keberlanjutan perang kolonial melawan rakyat”.
Mindanao dan pulau lainnya yang lebih kecil di selatan Filipina, seperti Jolo, menyimpan sejarah dari salah satu konflik terpanjang di Asia. Ini adalah gejolak antara kaum mayoritas Kristen yang mendominasi Filipina dengan kaum Muslim sebagai minoritas. Muslim Filipina hanya 5 persen dari keseluruhan populasi Filipina. Hampir seluruh Muslim Filipina mendiami Mindanao, yang dulunya di bawah kesultanan, masa sebelum para kolonial Kristen tiba di Filipina.
‘Diskriminasi' melawan Muslim
Sama seperti Norodin Lucman, Samira Gutoc melihat dirinya sebagai perwakilan minoritas Muslim yang terdiskriminasi. Politikus berusia 43 tahun asal Marawi ini ingin menjadi senator. Tapi, sejak 25 tahun lalu tidak ada seorang Muslim yang berhasil terpilih ke Senat Filipina. Namun ia mengatakan kepada DW, "Jika kita terus percaya bahwa kedamaian hanya dapat dicapai oleh orang yang berseragam pada level pemerintahan nasional, tanpa melibatkan penduduk asli sini, maka upaya pencapaian kedamaian di Marawi akan terus gagal”.
Gutoc menyalahkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte yang telah mengorbankan Marawi dalam perang melawan teror. "Marawi adalah sebuah contoh diskriminasi, dengan tidak mengizinkan sistem mediasi penduduk asli melakukannya”. Dia percaya Duterte telah salah dengan menolak negosiasi dengan ISIS.
Pemerintah Filipina sebetulnya juga telah bernegosiasi dengan Moro Islamic Liberation Front atau MILF. MILF adalah kelompok Muslim pemberontak terbesar di Mindanao, banyak anggotanya membelot ke ISIS. Sudah puluhan tahun kelompok ini berjuang untuk merdeka sebagai negara Muslim.
Tetapi setelah bertahun-tahun negosiasi, ia telah memoderasi tuntutannya dan sekarang berkampanye untuk wilayah Muslim dengan otonomi yang luas, yakni di kota Bangsamoro. Jika niatnya tercapai, maka Bangsamoro akan memiliki parlemen, anggaran, dan hukum Islam sendiri.
Satu langkah maju menuju federalism
Bencana Marawi telah mempercepat dorongan untuk perubahan, Presiden Duterte, yang terkenal dengan perang anti-narkoba brutalnya punya argumen persuasif dalam upayanya meyakinkan mayoritas Kristen untuk menerima Bangsamoro menjadi daerah otonomi. Duterte sendiri berasal dari Mindanao - Presiden Filipina pertama dari kawasan itu. Para pemimpin MILF mengatakan kepada DW bahwa mereka "percaya ketulusannya."
"Saya tahu Duterte punya reputasi yang buruk di Jerman”, kata ahli politik Richard Heydarian kepada DW. Tapi, setidaknya kita harus akui bahwa ia pantas mendapat pujian atas upaya yang diusahakannya di Mindanao: "Dia telah menggunakan kekuasaannya untuk menekan dan meyakinkan elit politik Filipina untuk proyek otonomi Bangsamoro ini”.
Banyak orang Muslim di Mindanao menyebut ibukota sebagai "imperial Manila”. Bangsamoro dijanjikan akan menjadi daerah otonomi dalam tiga tahun mendatang. Akhirnya kami melihat "sebuah mekanisme dari penduduk asli dalam pemecahan masalah,” kata calon anggota senat Samira Gutoc.
Antara Persaingan dan Korupsi
Masa kepemimpinan Presiden Duterte akan berakhir pada tahun 2021 dan tidak ada jaminan penggantinya nanti akan melanjutkan janji pemberian daerah otonomi ini. Kemungkinan lainnya adalah adanya konflik dalam tubuh MILF sendiri atau antara MILF dengan kelompok-kelompok Muslim pemberontak lainnya. Kekhawatiran akan perpecahan antara klan Muslim tradisional di Mindanao juga menjadi perhatian.
Korupsi dan nepotisme juga menjalar di daerah ini. Keduanya bisa menghambat upaya pembentukan daerah otonomi di sini. Ditambah perang saudara selama empat dekade, yang telah menelan korban lebih 120 ribu korban jiwa dan meninggalkan luka yang dalam. Daerah-daerah Muslim di Mindanao adalah yang termiskin dan paling tertinggal di Filipina.
Negara garda depan yang baru
"Ketika ISIS di Timur Tengah memutuskan untuk mencari seorang ‘emir' atau pemimpin di daerah ini, mereka tidak memilihnya dari Indonesia atau Malaysia. Mereka memilih orang Filipina,” jelas akademisi Richard Heydarian. "Mereka percaya garda terdepan ISIS di Asia Tenggara ada di selatan Filipina, bukan di negara Muslim seperti Indonesia atau Malaysia”.
Hanya Filipina yang punya narasi sebuah negara mayoritas Kristiani dengan kelompok minoritas Muslim. Setelah kejatuhan kekhalifahan ISIS di Suriah dan Irak, Mindanao bisa menjadi pilihan menarik para pejuang ISIS dari mancanegara. Hutan-hutan yang luas dan area rawa menawarkan banyak ruang untuk bersembunyi. "Ini adalah pilihan mundur mereka untuk nantiya balas dendam, "jihad pembalasan dendam" jika Anda ingin menyebutnya demikian”, ujar Heydarian.
Pulau Mindanao mudah diakses dengan kapal dari Indonesia dan Malaysia, dua negara yang juga tengah melawan jaringan-jaringan teror atas nama Islam. Jihadis dari kedua negara ini pernah bergabung dengan ISIS di Timur Tengah dan Marawi. (ga/hp)