Jerman Berharap pada Prospek Ekonomi Hidrogen Hijau
16 November 2022Di sela-sela Konferensi Iklim COP27 di Mesir, menteri kerja sama pembangunan Svenja Schulze mengumumkan bahwa Jerman akan menyumbang 550 juta euro untuk mendorong ekonomi hidrogen hijau global yang baru. Seiring waktu, pendanaan itu akan meningkat menjadi 2,5 miliar euro, yang terutama akan disediakan oleh Bank pembangunan Jerman KfW, kata Stefan Wenzel, wakil menteri ekonomi dan perlindungan iklim Jerman.
Hidrogen hijau bisa menjadi bagian penting dari "transisi energi yang adil" di negara-negara berkembang dari bahan bakar fosil ke energi bersih, kata Svenja Schulze pada konferensi pers di Sharm El-Sheikh. Dia mengatakan, negara-negara berkembang, yang kebutuhan energinya akan meningkat sebanyak 70% pada tahun 2050, harus menjadi bagian dari transisi energi bersih agar tidak dikesampingkan dari "rantai nilai masa depan."
Dengan sumber daya hidrogen hijau yang memadai, negara-negara berkembang dapat menjadi "mandiri dari energi fosil berdasarkan gas alam," tambahnya. Di sinilah "aksi iklim dan ketahanan pangan bergabung," katanya.
Masopha Moshoeshoe, spesialis ekonomi hijau di kantor investasi dan infrastruktur kepresidenan Afrika Selatan, menerangkan bahwa akses ke pendanaan Jerman akan membantu "mempercepat transisi kita dari bahan bakar fosil."
Afrika Selatan berencana untuk memproduksi 12 juta ton hidrogen hijau setiap tahun pada 2050, dengan lebih dari setengahnya akan diekspor untuk membantu "dekarbonisasi" negara-negara tetangga, kata Moshoeshoe pada konferensi pers.
Apa sebenarnya hidrogen hijau?
Hidrogen hijau (GH2) disebut-sebut penting untuk keberhasilan transisi energi, karena dapat digunakan untuk menghasilkan bahan bakar netral iklim dan menggerakkan sektor yang sulit didekarbonisasi, seperti manufaktur baja, penerbangan, dan perkapalan.
GH2 diproduksi melalui proses elektrolisis - memecah air (H2O) menjadi oksigen dan hidrogen. Selama hidrogen diekstraksi dengan menggunakan energi terbarukan dan bukan bahan bakar fosil, hidrogen tidak menghasilkan emisi CO2 dan karena itu dianggap ramah lingkungan.
Dengan menambahkan CO2 dari udara, hidrogen kemudian dapat diubah kembali menjadi bahan bakar cair sintetik, yang disebut "power-to-liquid”, atau juga bahan bakar gas, yang dinamakan dengan "power-to-gas”. Bahan bakar yang dihasilkan tidak menambah emisi baru ke atmosfer, karena itu "netral iklim”.
Perdagangan hidrogen hijau global
Hidrogen hijau masih dalam masa pengembangan, kata Badan Energi Terbarukan Internasional IRENA, sebuah badan antar pemerintah yang mempromosikan energi terbarukan. Produksinya diperkirakan akan tumbuh dari hampir nol hari ini menjadi sekitar 400 juta ton pada tahun 2050, ketika negara-negara ekonomi besar seperti AS dan Jerman mencoba mencapai nol emisi.
GH2 yang dihasilkan juga dapat digunakan untuk menghasilkan energi ketika matahari tidak bersinar atau angin tidak bertiup, tulis IRENA dalam laporan yang diterbitkan pada Maret 2022. Ini bisa menjadi keuntungan bagi negara-negara yang menggunakan energi terbarukan seperti tenaga matahari dan tenaga angin, khususnya di negara-negara berkembang. Karena GH2 dapat diproduksi "sepanjang tahun dengan laju yang hampir konstan tanpa fluktuasi musiman," tulis IRENA.
IRENA mengharapkan perdagangan hidrogen menjadi lebih regional dan lebih kecil daripada pasar bahan bakar fosil global yang besar saat ini. Prospek ini mengarah pada apa yang disebut IRENA sebagai "diplomasi hidrogen baru", terutama yang dilakukan oleh negara-negara dengan potensi terbarukan yang terbatas, seperti Jerman dan Jepang.
Jerman dan prospek ekonomi hidrogen hijau
"Jerman saat ini tidak memiliki energi terbarukan yang cukup untuk menghasilkan semua bahan bakar cair dan bahan bakar gas yang netral iklim, yang diperlukan di masa depan," kata Kementerian Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan Jerman, BMZ, di situs web-nya. Sebab itu, negara harus mengimpor produk GH2 dalam jangka menengah hingga panjang, kata BMZ.
Jerman baru-baru ini mendirikan kantor "diplomasi hidrogen" di negara-negara seperti Arab Saudi dan Nigeria. Pada bulan November, dua deklarasi dengan para menteri dari Mesir ditandatangani untuk memperkuat kerja sama di bidang hidrogen hijau dan gas alam cair (LNG).
Saat ini, LNG secara kontroversial diberi label sebagai "bahan bakar jembatan" menuju energi hijau. Dikatakan, emisi LNG tidak seberat emisi batu bara, sekalipun masih menghasilkan CO2. Kritikus, seperti think tank lingkungan Kanada, International Institute for Sustainable Development, mengatakan penggunaan gas justru menghambat transisi ke energi hijau dan bukan mendorongnya.
Pada Oktober lalu, Jerman mulai menerima kiriman hidrogen yang dibuat menggunakan bahan bakar fosil dari Uni Emirat Arab. Namun, BMZ menyatakan bahwa dalam semua proyek kerja samanya hanya akan mendukung hidrogen hijau yang dibuat dengan sumber daya terbarukan — dan bukan bahan bakar fosil.
Menteri ekonomi Jerman Robert Habeck menekankan: "Bersama-sama, kita dapat membantu memajukan transisi energi global dan membangun jaringan energi lintas batas yang netral iklim, yang sebagian besar didasarkan pada hidrogen hijau.”
(hp/gtp)