Jerman dan Uni Eropa Terjepit Krisis AS-Iran
8 Januari 2020Kata kuncinya adalah: De-eskalasi. Para politisi di Berlin pada hari-hari belakangan berulangkali menekankan mantra ini. Juga dalam pernyataan bersama Kanselir Jerman Angela Merkel, Preisden Prancis Emmanuel Macron, dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson hal itu kembali ditegaskan. Semua "pihak-pihak terkait" diminta dengan sangat untuk "sedapat mungkin menahan diri dan menyadari tanggung jawab" yang mereka emban demi perdamaian.
Pertanyaannya: Bagaimana deeskalasi bisa tercapai? Jawaban yang datang dari Eropa: melalui dialog. Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas menekankan, saat ini "semua jalur komunikasi yang masih terbuka dan berfungsi" sedang digiatkan kepada kedua pihak yang sedang bersengketa. "Dan pihak kita pun harus berkontribusi, agar tidak terjadi perang proxy di Irak," tegasnya.
Di pihak lain, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyatakan "kecewa" dengan "beberapa reaksi dari Eropa" yang dinilai kurang mendukung posisi AS. Pemerintahan Donald Trump berulangkali menyatakan, serangan roket dari pesawat nirawak terhadap kendaraan yang ditumpangi Jenderal Qassem Soleimani, terpaksa dilakukan untuk mencegah bahaya serangan yang sedang dirancang petinggi militer Iran itu. Namun hingga kini AS memang tidak memberikan bukti-bukti tentang adanya "ancaman yang sangat mendesak" itu.
Macan kertas tanpa gigi?
Eropa kelihatannya sedang berbagi peran dalam melakukan diplomasi tingkat tinggi. Presiden Prancis Emmanuel Macron berkomunikasi dengan Presiden Iran Hassan Rouhani, PM Inggris Boris Johnson membahas krisis itu dengan Presiden AS Donald Trump, sedangkan Kanselir Jerman Angela Merkel akan menemui Presiden Rusia Vladimir Putin. Tapi apa yang bisa ditawarkan Jerman dan Uni Eropa untuk meredakan krisis ini?
Upaya Jerman, Prancis, dan Inggris untuk mempertahankan Perjanjian Atom Iran, setelah ditinggal oleh Amerika Serikat, hingga kini tidak membuahkan hasil. Kebanyakan perusahaan Eropa tunduk kepada sanksi yang dijatuhkan Donald Trump terhadap Iran, karena khawatir akan mendapat kesulitan berbisnis di Amerika Serikat. Sekali pun pemerintah Jerman dan Prancis berulangkali menegaskan, perusahaan-perusahaan tetap bisa berinvestasi di Iran dan tidak perlu khawatir dengan sanksi AS. Tapi siapa yang bisa menjamin itu?
Untuk memungkinkan bisnis dengan Iran bisa tetap berlangsung sekalipun ada sanksi AS, Jerman, Prancis dan Inggris telah membentuk perusahaan keuangan INSTEX. Tujuannya agar semua transaksi bisnis dengan Iran dilakukan lewat INSTEX yang berkedudukan di Eropa, sehingga secara hukum mereka tidak melanggar sanksi AS terhadap Iran. Namun hingga kini, sistem pembayaran itu belum berfungsi. Hampir tidak ada perusahaan yang mau mengambil risiko "berurusan dengan otoritas AS".
Risiko politik yang sulit diperhitungkan
Karena Iran tidak melihat keuntungan apa-apa dari prakarsa Eropa, negara itu mulai menjauhkan diri dari Perjanjian Atom. Sekarang, setelah serangan AS terhadap Qassem Soleimani di bandara internasional Bagdad, Iran bahkan menyatakan sudah "tidak terikat lagi" dengan perjanjian yang dicapai dengan susah payah pada tahun 2015 itu.
Mantan Menteri Luar Negeri Jerman Sigmar Gabriel mengakui, Eropa memang tidak punya peran besar di panggung diplomasi global. Dalam dua tahun terakhir ini terlihat jelas, tulis Sigmar Gabriel dalam sebuah opini di harian Berlin "Tagespiegel", bahwa "Uni Eropa hanya macan kertas saja, jika situasinya jadi serius". Kalau memang ingin mengubah situasi dan melakukan deeskalasi, Eropa "harus punya keberanian untuk mengambil risiko politik," tegasnya dan menambahkan: "Jika perlu (Eropa) harus siap terlibat dalam konflik politik yang lebih besar dengan Presiden AS saat ini."
Jika Eropa benar-benar ingin menarik perhatian Iran, maka Eropa harus berani menggelontorkan "kredit miliaran bagi Teheran" dan dengan demikian memaksa mereka kembali ke Perjanjian Atom. Hanya dengan cara itu Eropa bisa mendekati Iran dan "mengembalikan kepercayaan yang telah hilang," tulis Sigmar Gabriel.
hp/rap