Jimat Klasik Nusantara Punya Tempat di Hati Kaum Muda
14 Januari 2022"Monggo (silakan), mau cari apa?" sapa Tuti dalam bahasa Jawa yang bercampur bahasa Indonesia. Perempuan berusia 56 tahun ini sudah berjualan berbagai macam benda yang bisa dipakai sebagai jimat di salah satu sudut Pasar Beringharjo, Yogyakarta, sejak di bangku SMP atau sekitar 41 tahun lalu.
Tuti terbiasa menyapa para pengunjung dengan bahasa Indonesia karena tidak semua pembelinya paham bahasa Jawa, terutama Krama Inggil atau bahasa Jawa halus.
Sekilas, barang jualan Tuti terlihat seperti aneka benda terbuat dari logam kuningan dan besi baja. Kata kunci untuk menemukan lapak-lapak dengan barang jualan seperti yang dijual oleh Tuti memang "kuningan". Sedangkan turis mancanegara biasa mencarinya dengan kata kunci brass. Namun yang Tuti jual bukan hanya hiasan dari kuningan dan beberapa bentuk miniatur, ada juga benda lain seperti bebatuan dan minyak.
"Orang datang ke sini dengan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang memang membeli untuk dijadikan aksesori atau hiasan rumah, ada yang beli untuk tujuan khusus," ujar Tuti kepada DW Indonesia.
Tujuan khusus yang ia maksud adalah agar hajat atau keperluan yang ingin dilaksanakan bisa berjalan lancar sesuai harapan. Ia mencontohkan batuan berbentuk bawang merah dan bawang putih biasa dicari orang untuk melakukan ritual di lahan pertanian supaya panen mereka lancar. Namun Tuti mengingatkan, bahwa apa yang dia jual hanya benda. Belum ada 'isinya'.
Dicari orang-orang muda
Para pelanggan Tuti bukan hanya orang-orang paruh baya, banyak pula orang muda berusia di bawah 40 tahun. Alasan mereka bermacam-macam, utamanya adalah untuk memperlancar jalan hidup dan menghalau kesulitan.
DW Indonesia berjumpa dengan perempuan berusia 27 tahun yang minta hanya diidentifikasikan sebagai Ara. Ia mengaku pernah menggunakan jimat-jimat semacam itu supaya lamaran kerjanya bisa diterima oleh perusahaan yang ia inginkan. Ara mengatakan sudah sering melamar pekerjaan tapi selalu gagal meski ia tahu bahwa nilai tesnya termasuk paling tinggi dan hampir selalu bisa melalui tahap wawancara dengan baik.
Suatu hari Ara mengatakan bahwa ketika terakhir melamar ke sebuah perusahaan, ia tiba-tiba mendapat perasaan 'tidak enak' saat mendengar bahwa perusahaan itu mengundurkan pengumuman pegawai baru selama tiga hari. Untuk menenangkan rasa was-wasnya, Ara pun mencari bantuan spiritual agar namanya tetap masuk dalam daftar pegawai yang diterima.
"Saya merasa saya sudah melakukan yang terbaik yang saya bisa, tetapi kadang ada hal-hal di luar kemampuan kita yang membuat usaha itu seperti sia-sia. Akhirnya, saya putuskan untuk mencari bantuan," ujarnya kepada DW Indonesia.
Sementara Rani, 38, mengaku menggunakan jasa spiritual dan membeli jimat tolak bala karena menurutnya bisnisnya mendadak sepi setelah dia menolak cinta seorang pria. Keputusan membeli jimat tolak bala ia ambil tidak lama setelah seorang pelanggan menanyakan kepada Rani mengapa tokonya selalu tutup. Rani pun tersentak karena dia buka setiap hari. Dia mencari pertolongan.
Setelah menebarkan jimat yang sudah didoakan oleh orang yang dia sebut sebagai konsultan spiritual di sekeliling bangunan toko, usahanya mulai kembali ramai didatangi pelanggan. "Saya awam, saya awalnya tidak percaya hal-hal seperti itu sampai akhirnya mengalami sendiri," tutur Rani.
Antara keyakinan dan sugesti
Francisca Tjandrasih Adji, dosen dan filolog dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, mengatakan bahwa penggunaan jimat, memang menjadi bagian dari budaya masyarakat Jawa. Perempuan yang biasa disapa Tjandra ini mencontohkan penggunaan singgul yakni campuran kunyit, temulawak dan rempah lain biasa disediakan oleh keluarga yang baru saja kehilangan anggota keluarganya untuk dioleskan di tumit atau di bagian belakang telinga. Langkah ini dipercaya bisa menolak sawan atau tolak bala.
Namun Tjandra mengatakan: "Kalau untuk benda-benda mistis meski masih masuk gugon tuhon (hal-hal yang tidak bisa dijelaskan sebagai bagian dari tradisi spiritual dan kepercayaan) itu saya kira bukan menjadi tradisi masyarakat Jawa secara keseluruhan. Karena kalau benda itu dipandang sebagai jimat, dan yang menyuruh adalah dukunnya itu bukan bagian kehidupan masyarakat secara luas, tetapi kelompok tertentu," tuturnya kepada DW Indonesia.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pada beberapa ritual seperti mandi kembang di sumber air dengan tujuan tertentu supaya bisa berpikir jernih, dapat memiliki penjelasan ilmiah. Misalnya, kandungan mineral di sumber air atau embung itu bisa jadi berbeda dengan yang ada pada air leding. Tentunya efek di badan selain segar juga sehat, ujarnya. Tetapi ada juga yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah dan hanya merupakan kepercayaan.
Sedangkan untuk benda yang dipercaya memiliki manfaat tertentu, Tjandra melihat ini sebagai bagian dari sugesti dan keyakinan yang diharapkan bisa membawa energi positif. "Tapi memang di dalam masyarakat Jawa yang namanya jimat entah jimatnya itu apa memang kadang ada yang meyakininya menjadi sesuatu yang menguatkan. Kalau dalam pemikiran saya itu adalah sugesti. Dia membawa benda itu dan kemudian dia memiliki keyakinan itu, sehingga dia tersugesti dan yakin bahwa apa yang diinginkannya akan terkabul," terang Tjandra.
Ia pun menyayangkan adanya anak-anak muda yang cenderung menggunakan jimat untuk memperlancar kehidupan mereka. "Anak muda yang seperti itu sebenarnya menurut pandangan saya karena pada dasarnya adalah orang yang tidak percaya diri dan ingin jalan pintas," ujarnya.
Tidak selesaikan masalah yang sebenarnya
Via, mahasiswi berusia 23 tahun tidak mengerti apa yang membuat ibunya memberinya cincin berbentuk aneh pada pagi sebelum ujian skripsinya dimulai. Menurut sang ibu, itu agar Via beruntung dan ujiannya lancar. Via mengaku ujiannya memang berlangsung lancar. Tetapi dia mengatakan bahwa sebelumnya telah mempersiapkan diri dengan baik.
"Begitu semua dosen penguji hadir, itu saja saya sudah yakin semua akan baik-baik saja karena yang saya khawatirkan itu cuma kalau ujian diundur lagi, bisa DO saya nanti," kata Via kepada DW Indonesia.
Rm Agung, seorang konsultan spiritual mengatakan bahwa segala benda keramat atau wesiaji itu hanya mediator. Mitos dan hal-hal mistis ini menurutnya sudah ada dan sudah dipraktikkan sejak masa nenek moyang, utamanya di zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Menurut Agung tidak semua orang percaya dan memilih berusaha dengan cara memakai jimat dan merapal mantra. Hanya orang-orang tertentu. Selain sudah mentok atau merasa tidak ada jalan lain, biasanya orang-orang yang datang kepadanya adalah mereka yang yakin bahwa tujuannya bisa ditempuh dengan menggunakan jimat dan ritual tertentu.
"Itupun biasanya adalah orang-orang yang sudah bingung mencari cara untuk mencapai tujuannya. Ada yang kemudian ke dukun atau paranormal, ada juga yang meminta doa-doa khusus ke ulama," ujar Agung yang mengaku banyak bersentuhan dengan hal-hal mistis sejak masih remaja.
Terkait apakah tujuan akan terwujud, Agung mengatakan semua itu kembali pada pribadi masing-masing. Dia mencontohkan dengan orang yang patah hati kemudian menggunakan semar mesem untuk membuat orang yang disukainya tadi kembali. Si kekasih memang akan kembali, tetapi langgeng atau tidaknya bergantung pada pribadi masing-masing.
"Misalnya, kalau ternyata putusnya dulu karena kekasihnya materialistis tetapi lelakinya tidak bisa memenuhi permintaannya, kemudian setelah kembali lagi karena menggunakan semar mesem, si lelaki tetap tidak bisa memenuhi permintaan-permintaan kekasihnya tadi. Ya nanti putus lagi," ujar Agung. (ae)