1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

John Yettaw Bersaksi di Pengadilan Suu Kyi

27 Mei 2009

Tokoh pro demokrasi Birma, Aung San Suu Kyi menyalahkan kegagalan pengamanan yang dilakukan junta militer Myanmar, sehingga menyebabkan insiden masuknya pria asal Amerika Serikat di kediamannnya, awal Mei lalu.

https://p.dw.com/p/HyNT
Perahu kecil yang mampir di bagian belakang dekat rumah Suu Kyi di YangonFoto: picture-alliance/dpa

Dalam pernyataan tertulisnya yang disampaikan ke pengadilan, Aung San Suu Kyi tetap menyatakan tidak melakukan pelanggaran tahanan rumah. Suu Kyi bersikukuh tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas insiden masuknya warga Amerika Serikat John Yettaw ke kediaman ia ditahan, karena menurutnya hal tersebut merupakan kegagalan pengamanan yang dilakukan junta militer Myanmar. Dalam pernyataan tersebut Suu Kyi juga mengaku tidak segera melaporkannya kepada rezim militer karena tidak menginginkan kemungkinan terjadinya sesuatu yang buruk yang dapat „melukai“ Yettaw maupun para aparat keamanan yang menjaga rumahnya.

Ditekankan oleh Suu Kyi, tidak ada tindakan keamanan yang dilakukan militer saat orang asing itu memasuki rumahnya, namun ia sendiri yang tidak tahu apa-apa malah dikenai gugatan. Surat yang disampaikan Suu Kyi kepada pengadilan ini lebih berisi ketimbang saat dihadapkan di pengadilan kemarin. Dalam surat ini ia bahkan menulis pernah memberitahu kepada militer bahwa Yettaw sebenarnya pernah berenang ke rumahnya pada November 2008, namun tidak ada tindakan apapun yang dilakukan militer.

Lalu Yettaw mengunjunginya lagi pada tanggal 4 Mei lalu. Suu Kyi menyuruhnya pulang, namun Yettaw takut ditahan bila pulang pada pagi hari dan memilih untuk pulang di malam harinya. Namun pada malam harinya Yettaw memohon untuk bermalam dengan alasan kondisi kesehatan. Suu Kyi menandaskan dalam suratnya bahwa atas prinsip politiknya, ia tak mau siapapun ditangkap untuk urusan politik. Itu sebabnya Suu Kyi memberi penampungan sementara. Setelah warga AS itu pergi, tanggal 7 Mei Suu Kyi bermaksud memberitahu dokter yang mengunjunginya, supaya menginformasikan insiden itu pada pejabat yang berwenang, namun dokter itu malah dicegah masuk. Ketika polisi menelefon setelah menangkap Yettaw tanggal 6 Mei pun, mereka tak mengritik, menyalahkan tindakan Suu Kyi. Aung San Suu Kyi juga menolak kesaksian pejabat polisi yang mengatakan di pengadilan bahwa Suu Kyi bertanggungjawab sebagian atas pengamanan di rumahnya. Dengan tegas Suu Kyi menyatakan dalam suratnya bahwa tahanan rumah yang dikenakan padanya sejak tahun 2003 pun ilegal karena dilakukan dibawah konstitusi yang dibuat oleh junta militer.

Rabu ini, veteran AS, John Yettaw yang berenang ke rumah Suu Kyi sedianya memberikan kesaksian. Yettaw mengaku mendapat penglihatan bahwa Suu Kyi berada dalam bahaya, karena akan dibunuh oleh teroris, untuk itu Yettaw bermaksud ingin memperingatkannya. Oleh sebab itu ia nekad menyebrangi danau dengan sandalnya untuk mengunjungi perempuan berusia 63 tahun itu.

Sementara itu para pendukung Suu Kyi hari ini sibuk merayakan 19 tahun kemenangan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi NLD, dalam pemilu tahun 1990, yang kemudian dianulir oleh junta militer. Di markas partai, ratusan pendukung Suu Kyi melepaskan burung merpati dan balon. Partai yang dipimpin Suu Kyi, NLD memenangkan pemilu pada tanggal 27 Mei 1990 secara demokratis. Namun junta militer Myanmar tidak membiarkan Suu Kyi membentuk pemerintahan. Dalam kurun 19 tahun, terakhir, Suu Kyi telah ditahan selama 13 tahun oleh junta militer Myanmar, sebagian besar dengan status tahanan rumah.

Kemarin status tahanan rumah Suu Kyi telah dicabut, namun ia tetap ditahan untuk menjalani proses hukum insiden terkait masuknya orang asing ke kediamannya. Diduga junta militer sengaja mengajukan kasus itu agar Suu Kyi tak dapat mengikuti pemilu Myanmar tahun depan.

Masyarakat internasional, tidak ketinggalan Presiden Amerika Serikat Barack Obama juga menyerukan pembebasan Suu kyi segera dan tanpa syarat. Namun tak ada tanda-tanda junta militer merespon desakan itu.

AP/dpa/reuters/ap/afp