Risiko Logistik Picu Pemikiran Menjaring
17 Juni 2013Perkiraan para pakar jelas: jika jumlah penduduk bumi semakin meningkat, kebutuhan akan pangan pada tahun-tahun mendatang sampai 2030 akan melonjak hingga 35 persen. Dampaknya akan terlihat jelas di negara yang juga kekurangan energi dan air bersih. "Pertumbuhan ekonomi global menimbulkan perubahan pola makan. Konsum daging dan produk susu meningkat. Tapi untuk memproduksi daging diperlukan sepuluh kali lipat jumlah air ketimbang bagi tanaman gandum", ujar Bettina Rudloff dari yayasan Ilmu Pengetahuan dan Politik (SWP).
Ilmuwan ini adalah salah satu peneliti mengenai kaitan krisis air, pangan dan energi yang baru-baru ini menerbitkan hasil studinya itu. "Kaitannya juga terlihat pada perkembangan harga, misalnya dari produk agrar dan minyak bumi. Tren harga dan fluktuasinya sangat mirip." Jadi, haruskan kita ke depan memutuskan pilihan antara peningkatan air bersih, pengurangan bahaya kelaparan atau perbaikan penyediaan energi"
Penyisihan Dampak Samping
Franz-Josef Batz dari Yayasan Kerjasama Internasional (GIZ) menjelaskan sebuah contoh "dampak yang tidak diinginkan" dari India: Pemerintah negara itu mensubsidi pemakaian energi di sektor pertanian. Akibatnya, para petani kemudian menggunakan pompa air yang banyak memakai energi. Permukaan air tanah menurun dan ujungnya, produksi menurun. "Kita harus memikirkan, bagaimana tepatnya kita mau menggunakan air. Akses terhadap air bersih memang merupakan hak asasi manusia, tetapi perekonomian juga memerlukan air dan energi demi pertumbuhan."
Pemikiran "yang menjaring"
Perdebatan umum yang cukup ramai mengenai hubungan antara pangan, air bersih dan energi terdengar sejak dua tahun ini. Pada forum ekonomi dunia di Davos 2011, tema itu merupakan fokus laporan risiko. Pemerintah di Berlin bahkan mengangkat tema ini dalam sebuah konferensi tersendiri di Jerman. Namun menurut Bettina Rudloff, langkah nyata secara politis sulit dilaksanakan. Jerman dan juga negara lainnya membahas tema air, energi dan pangan di dalam kementrian terpisah dan di tatanan politik yang berbeda. Kebijakan pertanian terutama dipegang Uni Eropa di Brussel, sementara energi di bawah wewenang negara-negara anggotanya.
Tetapi kemajuan pertama terlihat bergerak menuju "pemikiran yang menjaring": Subsidi pertanian semakin sering dikaitkan dengan persyaratan tertentu yang relevan bagi penyediaan air. Misalnya larangan penggunaan pupuk dan pestisida tertentu. Rudloff juga menyebut kebijakan bahan energi ramah lingkungan UE sebagai contoh. Tidak ada lagi target tinggi bagi penggunaan produk tanaman berkelanjutan, setelah dipastikan bahwa banyak lahan yang diperlukan bagi produksi pangan.
Kebijikan menjaring di lokasi terkait
Pemikiran yang menjaring juga memasuki sektor bantuan pembangunan Jerman, apakah itu di India ataupun di Yordania. GIZ berupaya membuat pemerintah dan rakyat mengerti keterkaitan antara kebijakan energi dan produksi pertanian serta penyediaan air minum. "Target kami di Yordania adalah efisiensi pompa air. Dalam tiga sampai empat tahun ke depan kami akan dapat memperlihatkan bahwa penghematan bisa mencapai 30 persen", demikian disampaikan Franz-Josef Batz kepada DW. Dia mengharapkan dukungan dari perusahaan swasta besar ketimbang mitra yang kuat, karena perusahaan seperti Coca-Cola juga dikatakan mempunyai minat besar pada upaya pengamanan air minum.
Christina Ruta