1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Berapa Besar Peluang Ursula von der Leyen Terpilih Kembali ?

20 Februari 2024

Politisi konservatif Jerman itu ingin kembali mencalonkan diri sebagai presiden Komisi Eropa. Namun analis meyakini jalan menuju pemilihan akan terjal. Terlebih, tugas berat sudah menanti siapapun yang terpilih.

https://p.dw.com/p/4cbyL
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen
Presiden Komisi Eropa, Ursula von der LeyenFoto: Kay Nietfeld/dpa/picture alliance

Sudah sejak tahun 2019 Ursula von der Leyen memimpin Komisi Eropa di Brussels. Politisi konservatif Jerman dari Partai Uni Kristen Demokrat itu menjadi perempuan pertama yang menduduki posisi tersebut. Meski sudah berusia 65 tahun, dia belum menunjukkan isyarat akan pensiun dan sebaliknya ingin bertahan di jabatannya saat ini.

Niat itu diungkapkan von der Leyen hari Senin (19/2) dalam sebuah konferensi di kantor pusat Partai CDU di Berlin, Jerman. Ketua Umum CDU Friedrich Merz memastikan, bekas menteri pertahanan Jerman itu menjadi calon tunggal dari partai konservatif Eropa, EVP, untuk jabatan presiden. Dalam dua pekan, pencalonan von der Leyen sudah akan didaftarkan.

Namun jabatan presiden Komisi Eropa tidak dipilih di parlemen atau lewat pemilu. Ia ditentukan oleh 27 kepala negara dan pemerintah yang duduk di Dewan Eropa. "Peluang von der Leyen cukup baik," untuk melanjutkan masa jabatan kedua, "tapi pastinya tidak akan mudah," kata Janis Emmanouilidis, peneliti dari wadah pemikir European Policy Centre di Brussels, Belgia.

Menurut Emmanouilidis, UE tidak hanya akan menentukan jabatan presiden Komisi Eropa saja. Siapa yang kelak akan menjabat sebagai presiden Dewan Eropa, komisaris luar negeri dan presiden Parlemen Eropa juga masih harus dirundingkan. Prosesnya menuntut kesepakatan semua negara anggota.

Rintangan bagi von der Leyen diyakini akan datang dari Presiden Hongaria Viktor Orban yang sejak lama berseteru. "Dia pastinya akan menuntut kompensasi," kata Emmanouilidis. "Terlebih, von der Leyen masih membutuhkan persetujuan Parlemen Eropa. Tahun 2019 saja hasil pemilihan sudah sangat ketat," imbuhnya.

EU Commission president seeks second term

Pro kontra von der Leyen

Parlemen Eropa periode depan harus menyetujui usulan kepala negara dan pemerintahan UE. Pada tahun 2019, von der Leyen unggul dengan cuma sembilan suara. Tahun ini pun, porsi mayoritas kemungkinan akan sulit menyusul lonjakan dukungan elektoral bagi partai populis kanan yang berpotensi merombak susunan 720 kursi di parlemen.

Bagi anggota Parlemen Eropa asal Italia, Brando Benifei, Uni Eropa tidak membutuhkan von der Leyen, melainkan sebuah perubahan, kata politisi sosialdemokrat itu. "Saya tidak yakin bahwa pemilihan Ursula von der Leyen adalah sebuah ide bagus. Dia berusaha menjadi sahabat bagi kaum ultranasionalis seperti Georgia Meloni," ujarnya merujuk kepada perdana menteri Italia yang giat membatasi arus migrasi para pengungsi.

Von der Leyen sebaliknya banyak dipuji sebagai penghalau krisis di saat pandemi Covid-19 atau invasi Rusia di Ukraina. "Buatnya tidak mudah untuk menyatukan semua pasukan," kata bekas presiden Komisi Eropa, Jean Claude Juncker, "dia berhasil melakukannya dan pantas mendapat pujian dan pengakuan."

Namun begitu, kiprahnya dalam pengentasan kemiskinan, penguatan demokrasi atau revitalisasi industri tidak dinilai baik oleh Martin Schirdewan, politisi Partai Kiri di Parlemen Eropa. "Apa yang sudah dicapainya? Dia cuma juara dalam mengumumkan keputusan dan mencetak halaman depan yang indah," ujarnya kepada DW.

Von der Leyen defends record ahead of EU elections

Gangguan dari seberang Atlantik

Pada tahun 2019, von der Leyen mencalonkan diri dengan janji bakal mengarahkan lembaga yang dia pimpin sebagai "komisi geopolitik Uni Eropa." Afrika awalnya menjadi wilayah pertama yang diajak mempererat kerja sama. Namun ketika Rusia mendeklarasikan perang terhadap Ukraina di jantung Eropa, kampanye diplomatik di selatan terpaksa dinomorduakan.

Komisi Eropa sebenarnya tidak punya banyak wewenang untuk mengarahkan kebijakan luar negeri, kata Janis Emmanouilidis dari European Policy Centre. "Betapapun juga, kompetensi utama bagi hubungan internasional tetap berada di masing-masing negara anggota. Brussels pun sebabnya berhati-hati dalam merumuskan sikap," tuturnya.

"Komisi Eropa tidak sendirian memegang tongkat komando. Situasinya memang sangat rumit di level Eropa."

Terlebih, tahun 2025 diramalkan bakal berlangsung terjal, terlebih jika calon presiden Partai Republik Donald Trump memenangkan pemilu kepresidenan di Amerika Serikat. Trump dan von der Leyen acap bersilang kata di masa lalu. Tidak tertutup kemungkinan Washington akan mengancam dengan perang dagang jika Trump duduk di Gedung Putih.

"Tantangannya berlaku untuk kita semua," kata pakar Eropa, Janis Emmanouilidis, merujuk kepada kemungkinan kemenangan Trump di seberang Atlantik. "Bukan cuma seorang presiden Komisi Eropa saja yang akan kesulitan, kita semua akan ikut kesusahan, di dalam Uni Eropa atau juga NATO."

(rzn/hp)

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!