Kapan Kita Harus Puasa Bermedia
Masih ingat saat dunia kelabu saat dilanda varian Delta COVID-19? Saya tak terima ketika di puncak gelombang Delta seruan "hanya beritakan kesembuhan pasien COVID-19” merajalela. Seruan tersebut, buat saya waktu itu, tak masuk akal dan delusional. Melarutkan diri dalam kabar-kabar yang menyenangkan diri tak menghilangkan kenyataan bahwa di luar sana tatanan kehidupan tengah porak poranda.
Pandangan saya berubah ketika saya membaca pengakuan orang-orang yang ditemani gawainya melakukan isolasi mandiri. Orang-orang ini bukannya tak percaya dengan COVID-19. Mereka tahu bahwa pandemi nyata, COVID-19 bukan kongkalikong kekuatan global dan media. Namun, dalam kondisi terkulai karena COVID-19, mereka tak kuat terpapar berita bagaimana pandemi tak henti menambah korban tanpa henti. Bagaimana bila itu merupakan gambaran nasib mereka selanjutnya?
Mereka pun memilih untuk melihat Tiktok, menonton anime, idol, dan Netflix, atau membaca artikel sejarah. Menghibur diri dengan jogetan konyol aktris TikTok ketika dunia kritis–kedengarannya seperti sesuatu yang salah memang. Namun, sama sekali tak ada yang salah dengan itu. Itu, bahkan, adalah tindakan yang mungkin paling tepat. Dengan situasi para pasien isoman ini tak berdaya dan hanya bisa berharap kesehatannya membaik, mereka tengah menjaga kesehatan jiwanya.
Refleksi diri
Hal tersebut mendorong saya bercermin tentang kebiasaan bermedia saya yang tak sehat. Sebagai seseorang yang berprinsip mendapatkan informasi adalah hal yang penting, saya rentan terjebak dalam doomscrolling setiap kali kondisi di luar sana memburuk.
Ingin mengetahui setiap perkembangan teranyar, saya berselancar tak henti di antara kabar-kabar buruk. Situs berita atau media sosial akan terbuka di layar gawai maupun laptop saya. Ia akan saya perbaharui setiap beberapa saat sekali demi mendapatkan informasi terbaru. Itu akan saya ulangin hingga berjam-jam atau, dalam kondisi tertentu, bermalam-malam.
Apabila Anda menanyakan kepada saya apa yang saya lakukan saat itu, saya tak akan bisa menjawab Anda. Saya pun tak tahu jelas arti tindakan saya. Saya mungkin ingin merasa lebih aman dengan merambah setiap informasi yang ada, tapi setiap informasi terbaru tidak semakin meredam kecemasan saya. Yang ada, mereka malah semakin memacunya.
Tanyakan kepada orang-orang yang melakukan doomscrolling—kepada mereka yang tengah tercekam dengan dunia yang mendadak memburuk—apa alasan mereka melakukannya. Mereka pun tak akan bisa menjawabnya. Mungkin ada yang merasa ingin mencari jawaban atau harapan atas apa yang terjadi. Mungkin, ketika aset kripto rontok, mereka ingin tahu apakah nilainya masih bisa naik dan mereka masih bisa mendapatkan uangnya kembali.
Sayangnya, Anda tak akan mendapatkan jawaban yang rasional. Mereka mengonsumsi berita-berita menakutkan hanya karena mereka tenggelam di dalamnya.
Digerogoti kecemasan di awal pandemi
Ketika COVID-19 mulai menyebar dan negara-negara mulai menutup perbatasannya, saya tengah berada di Indonesia. Saya harus kembali ke Jerman karena barang-barang saya, termasuk dokumen-dokumen penting, masih tertinggal di sana. Sepanjang berhari-hari menunggu kejelasan kebijakan perbatasan dari Jerman dan Indonesia, saya tenggelam dalam doomscrolling.
Saya tak pernah meninggalkan layar gawai saya. Perhatian saya terpaku pada situs-situs berita dan lini masa media sosial, mencermati setiap perkembangan terkini, bahkan ketika perkembangan tersebut remeh, tak berarti, atau mengulang apa yang sudah saya ketahui sebelumnya. Saya menjadi secara ajaib tahu detail dengan berbagai kebijakan perbatasan global pada hari-hari itu.
Saya pun sadar saya tak sehat karenanya. Saya tetap tak kunjung mendapatkan informasi yang saya butuhkan. Beberapa hari kemudian setelah memang ada kebijakan perbatasan yang jelas dan saya bisa melakukan sesuatu, saya sudah kehilangan banyak waktu tidur. Badan saya sudah letih dan lemah lantaran digerogoti oleh kecemasan.
Rehat bermedia
Doomscrolling datang dari kecenderungan manusiawi kita. Respons kita terhadap bahaya adalah mengidentifikasi bahaya tersebut sebaik-baiknya. Kita menyelimutinya dengan perhatian kita untuk mengantisipasi segala ancaman yang mungkin mencuat darinya. Kendati media memang diuntungkan ketika orang-orang tak henti mencari informasi, perkaranya kita pun tak bisa mengendurkan pikiran kita dari sesuatu yang kita sepakati berbahaya.
Mungkin, dalam kondisi-kondisi tertentu yang menggerogoti kita secara kejiwaan, kita memang harus memilah antara informasi yang relevan dan tidak relevan. Belum tentu banyaknya informasi dalam kondisi genting sebanding dengan tersedianya informasi tindakan yang bisa kita lakukan terhadap situasi kita. Dari informasi yang membanjir tentang bahaya-bahaya besar, biasanya hanya secuil yang benar-benar relevan untuk kita dan memungkinkan kita bertindak terhadapnya.
Pengalaman orang-orang yang ditemani gawainya ketika isoman pantas kita pertimbangkan. Kita perlu berani mengambil jarak dari berita-berita buruk tanpa menolak bahwa mereka adalah fakta. Kita dapat rehat dan memisahkan diri sementara waktu dari perkembangan-perkembangan dunia terkini tanpa harus percaya pada teori-teori konspirasi yang menafikannya. Dalam belantara informasi yang mengisyaratkan dunia nampak akan berakhir, kita harus bisa menakar apa tindakan yang bisa kita lakukan dan mengurangi konsumsi informasi ketika ia sudah mulai menggerogoti kita.
Terinformasi adalah hal yang penting. Namun, bukankah yang lebih penting adalah mengetahui apa yang bisa kita lakukan dari dan terhadap informasi tersebut?
@gegerriy
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.