Kaum Islamis Datang, Budaya Toleransi Hilang
15 November 2017Harap dicatat istilah "kaum Islamis” ini beda dengan kaum Muslim atau umat Islam secara umum. Yang dimaksud dengan kata "Islamis” (Islamist) disini adalah para praktisi (baik individu maupun kelompok) Islamisme yang oleh Bassam Tibi, professor ahli Islam di University of Gottingen, Jerman, dalam Islamism and Islam didefinisikan sebagai "a political ideology based on a reinvented version of Islamic law.”
Dengan kata lain, dasar, basis atau fondasi yang digunakan oleh kelompok Islamis untuk membangun "Islamisme” atau "ideologi Islam politik” ini bukanlah hukum Islam atau Syariat Islam itu sendiri, melainkan sebuah pemahaman kembali, tafsir ulang atau rekonstruksi atas sejumlah diktum dalam hukum Islam atau Syariat tadi yang disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan politik dimana kaum Islamis itu berada. Itulah sebabnya kenapa visi, platform, agenda dan tujuan berbagai kelompok Islamis di berbagai negara itu berlainan antara satu dan lainnya.
Meskipun berlainan, kaum Islamis ini memiliki ciri-ciri umum, yaitu mempropagandakan sekaligus memaksakan (pemahaman) keislaman versi mereka agar dipraktekkan di pemerintahan maupun masyarakat. Sebagian lagi gigih ingin mengganti sistem politik-pemerintahan yang ada dengan sistem politik-pemerintahan yang mereka idealkan dan imaginasikan, baik dalam bentuk khilafah atau "Negara Islam” dan lainnya.
Apa cirinya?
Ciri mendasar lain dari kaum Islamis adalah tidak mau kompromi dengan pluralitas karena keragaman dianggap dapat menghambat cita-cita mewujudkan ideologi Islam politik yang mereka usung. Keberagaman dipandang menghalangi tujuan membumikan "Syariat Islam” yang orisinal menurut versi mereka. Kebhinekaan dianggap sebagai momok yang bisa merintangi tujuan menegakkan "Islam kaffah” (tentu saja menurut versi mereka).
Bagi kaum Islamis ini, masyarakat harus dibuat "singular” alias homogen untuk memuluskan jalan bagi tegaknya Islam yang sesuai dengan amanat, mandat Al-Qur'an dan Sunnah Nabi (lagi, tentu saja Al-Qur'an dan Sunnah Nabi menurut versi dan tafsir mereka). Dengan demikian, bagi kelompok Islamis, singularitas (bukan pluralitas) adalah kunci utama bagi suksesnya merealisasikan jenis keislaman yang mereka dambakan dan idealkan.
Oleh karena itu, karena wataknya yang anti-pluralitas, dimanapun kelompok ini bercokol, mereka akan selalu mengkampanyekan jenis, pemahaman, dan praktik keislaman yang seragam dan sama dengan bentuk, tafsir dan praktik keislaman yang mereka lakukan.
Bukan hanya mengkampanyekan atau mempropagandakan saja, kaum Islamis juga tidak mau kompromi dengan kelompok lain yang memiliki dan mempraktikkan jenis, tafsir dan bentuk keislaman yang berbeda dengan mereka seraya menuduh kaum non-Islamis ini (meskipun sesama Muslim) sebagai sesat, kafir, murtad, atau menyimang dari "kanon resmi” Islam dan praktik kenabian.
Kaum Islamis tidak menyadari justru karena pluralitas itulah mereka bisa hadir di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Tapi sayang, bukannya menyadari dan menghargai kemajemukan, kaum Islamis malah memusuhi pluralitas yang telah "melahirkan” mereka dan berambisi untuk mengubah keragaman menjadi keseragaman.
Tak pelak, klaim kebenaran mutlak atas "Islam yang lurus dan benar” yang kaum Islamis pegangi dan yakini itu mengakibatkan konflik, gejolak, ketegangan, benturan dan bahkan kekerasan di masyarakat.
Tidak mau menghargai "kebijaksanaan lokal”
Ciri selanjutnya dari kelompok Islamis adalah wataknya yang tidak mau menghargai "kebijaksanaan lokal” (local wisdoms), baik dalam bentuk adat (customary law) maupun tradisi dan budaya lokal. Atas nama pemurnian teologi dan Syariat Islam, kaum Islamis dimanapun gigih memerangi institusi-institusi sosial, adat-istiadat, dan praktik-praktik keislaman lokal karena dianggap bertentangan dengan spirit dan akidah Islam.
Padahal, "local wisdoms” itu sudah ada dan dipraktikkan oleh masyarakat Muslim setempat dari generasi ke generasi. Islam sendiri sebetulnya tidak menolak adat tetapi justru mengakomodasinya melalui konsep "syar'un ma qablana” (syariat sebelum Islam) maupun ‘urf (adat atau customs) yang menjadi salah satu basis hukum Islam. Karena dianggap baik dan positif, banyak sekali adat masyarakat Arab maupun non-Arab yang kemudian menjadi bagian dari ajaran normatif Islam.
Sayangnya, kaum Islamis tidak memperdulikan semua itu karena dipandang bisa menodai kemurnian Islam. Akibatnya, lagi-lagi, terjadi benturan dengan masyarakat setempat, baik Muslim maupun bukan, yang selama ini hidup dalam bingkai adat, tradisi, dan budaya lokal. Bahkan bukan hanya benturan, konflik, dan ketegangan antara kaum Islamis dan masyarakat Islam pro-adat saja, kadang-kadang terjadi kekerasan yang memilukan.
Simak misalnya sejarah perang panjang berdarah-darah antara kelompok Islamis (seperti kaum Padri) dengan kaum Muslim pro-adat di Minangkabau sejak abad ke-18 atau di Maluku Tengah di abad ke-20. Sungguh mengerikan: sesama umat Islam saling hujat, saling serang, saling bunuh, saling bakar. Sangat menyedihkan.
Meskipun dewasa ini tidak ada "kekerasan fisik” yang massif antara kaum Muslim kontra-adat dengan pro-adat, tetapi hajatan hujatan antarkedua kelompok sudah berada di tingkat memprihatikankan. Jika tidak diantisipasi dan dikelola dengan baik konflik antarmereka ini, bukan tidak mungkin akan menjelma menjadi kekerasan komunal seperti terjadi dalam sejarah Islam Indonesia masa silam.
Kedatangan pendatang baru
Jadi jelaslah bahwa kehadiran "pendatang baru” kaum Islamis di tengah-tengah masyarakat majemuk telah menyebabkan relasi sosial serta sendi-sendi harmoni dan toleransi antar-kelompok etnis dan agama di masyarakat menjadi retak, pudar, dan bahkan di komunitas tertentu, nyaris punah. Karena wataknya yang anti-pluralitas, kontra-adat dan tradisi lokal, serta merasa benar dan mau menangnya sendiri, kaum Islamis telah menjadi "biang kerok” intoleransi, keributan, dan perpecahan di masyarakat.
Aksi-aksi intoleran dan anti-kemajemukan yang mereka lakukan akan menjadi semakin brutal dan menggila jika kaum Islamis ini dimanfaatkan dan ditunggangi oleh partai politik dan kaum elit tertentu (termasuk "elit ekonomi dan bisnis”) yang memiliki kepentingan pragmatis tertentu. Maka jadilah "koalisi jahat” antara kaum ideolog (Islamis), kelompok politik (politisi, birokrat, atau aparat) dan golongan bisnis (pengusaha dan makelar proyek).
Itulah yang terjadi di sejumlah kawasan di Indonesia dewasa ini. Agar aksi-aksi intoleransi tidak meluas di seantero negeri, maka perlu upaya-upaya konstruktif-strategis dari berbagai pihak yang peduli dengan nilai-nilai kebangsaan, keindonesiaan, dan universal keislaman untuk menjaga, merawat, serta memperjuangkan budaya toleransi dan kebhinekaan di bumi pertiwi Indonesia agar negeri yang kita cintai ini tidak terjerembab ke lembah kekerasan dan kehancuran di kemudian hari. Semoga bermanfaat.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.