Dari Indonesia Mendalami Onkologi di Jerman
30 November 2021Raisatun Nisa Sugiyanto lahir di Bandung, tapi lebih merasa orang Yogyakarta karena lama tinggal di sana. Pendidikan S1 ia peroleh di Universitas Gadjah Mada, jurusan farmasi. Setelah selesai, ia langsung melamar untuk melanjutkan penelitian ke S2.
Untuk meraih gelar S2, Raisa sudah meneliti di Pusat Penelitian Kanker Jerman, Deutsches Krebsforschungszentrum (DKFZ) di kota Heidelberg. Sekarang ia sedang melanjutkan penelitian untuk mendapat gelar S3 di Pathologisches Institut, Universitätsklinikum Heidelberg.
“Di S2 kami mendalami apa itu kanker, kok bisa ada kanker di dalam tubuh manusia,“ kata Raisa dan menambahkan, mereka juga mendalami metode-metode yang digunakan untuk mempelajari kanker. Selain itu juga ada pelajaran yang mengarah ke “praklinik,“ jadi menjawab pertanyaan apa yang bisa dilakukan untuk menanggulangi kanker, sebelum menangani pasien.
S3 bisa dibilang mirip, kata Raisa, tapi lebih ke arah praktek atau risetnya. Riset juga ada di program S2, tapi program itu lebih ke arah teori. Sedangkan di S3 lebih banyak kegiatan di laboratorium. Jadi bisa dibilang, mengaplikasikan apa yang dipelajari ketika berkuliah S2 dulu, begitu dijelaskan Raisa.
Menariknya, organ tubuh yang diteliti Raisa sekarang berbeda. Dulu, di program S2, dia meneliti kanker payudara, sedangkan di S3 yang jadi fokusnya adalah kanker hati dan kantong empedu. Tapi menurut Raisa, secara umum, mekanisme pembentukan kanker sebetulnya mirip, walaupun setiap jenis kanker juga punya ciri unik. “Jadi kita bisa lompat dari satu jenis kanker ke lainnya untuk dipelajari.“
Topik penelitiannya sendiri adalah, mencari gen atau protein yang berperan dalam perkembangan kanker kantong empedu. Raisa menjelaskan, kanker berasal dari sel tubuh manusia yang tumbuh tidak terkontrol. “Jadi sel itu tidak tahu kapan dia harus berhenti tumbuh.“ Penyebabnya adalah gen atau protein yang bermutasi atau gen itu mengalami kerusakan.
Mencari karakter kanker
Berbeda dengan virus yang bisa dibilang “mahluk asing“ yang memasuki tubuh manusia, kanker berasal dari tubuh manusia sendiri. Sehingga sistem kekebalan tubuh lebih sulit memberikan reaksi, lain halnya dengan virus yang bisa dilawan.
Penelitian Raisa di Klinik Universitas Heidelberg fokus pada kerusakan pada gen atau protein yang menyebabkan kanker kantong empedu bisa selamat dan terus berkembang di tubuh manusia. Setelah menemukan kerusakannya, karakter kanker itu akan diketahui, juga bedanya sel kanker dengan sel yang sehat. Dengan begitu, gen atau protein penyulutnya bisa diketahui.
Tujuan akhirnya adalah, untuk mengetahui bagaimana terapi yang tepat yang hanya menarget sel kanker, dan tidak merusak sel-sel yang sehat. Tapi itu bisa dibilang baru teorinya saja. “Dari riset dasar, sampai menemukan obat atau terapi yang tepat tidak semudah itu,“ kata Raisa, “Untuk sampai ke situ, perjalanannya masih panjang.“
“Sampai sekarang tidak ada obat yang ‘one for all‘, tidak ada satu obat untuk semua jenis kanker.” Sampai sekarang, terapi untuk memerangi kanker lebih disesuaikan untuk tiap pasien. Jadi obat yang didapat pasien bisa berbeda-beda tergantung jenis kanker, juga subtipe kanker itu.
Ketika ditanya, ingin menekuni profesi apa setelah selesai S3, Raisa menjawab, ia memang senang dunia akademis. ”Kalau bisa ingin jadi peneliti saja. Mungkin nanti setelah selesai S3 akan jadi ‘post doc’ dulu, untuk mencari pengalaman,” begitu dijelaskan Raisa. “Mungkin jadi dosen, atau lainnya yang masih terkait dengan dunia akademis dan penelitian.“
Meneliti kanker hati dan kantong empedu
Raisa menjelaskan, institut tempat dia meneliti sekarang lebih menekankan pada kanker hati dan kantong empedu. Itu juga bisa dibilang tepat bagi peneliti dari Indonesia. Karena jumlah penderita kanker hati di Indonesia cukup banyak. Dibanding jenis kanker lainnya di seluruh dunia, kanker hati adalah kanker penyebab kematian yang menduduki tempat ke empat.
Di negara-negara tropis seperti Indonesia, kasus kanker hati banyak ditemukan berkorelasi dengan kasus penyakit hepatitis. Selain itu, juga kerap berkaitan dengan sejenis cacing yang menyerang hati. Contohnya, jika orang memakan ikan yang tidak matang. Begitu dijelaskan Raisa.
Dibanding jenis kanker lainnya, kanker kantong empedu sebetulnya termasuk jarang ditemukan. Tapi kanker ini kerap baru terdeteksi jika sudah terlambat. Jenis kanker ini dan kanker hati punya kemiripan besar, selain itu organ yang diserang letaknya juga berdekatan di dalam tubuh. Namun demikian, kembali lagi, gen atau protein yang rusak dan menyulut kanker itu bisa berbeda. Sehingga terapi bagi pasien juga bisa berbeda.
Faktor lain yang tentu juga harus diperhitungkan dalam terapi adalah kondisi pasien. Di samping itu, etnis seseorang bisa ikut memainkan peran dalam karakteristik kanker yang diderita, walaupun perkembangannya kemungkinan sama bagi semua etnis. Oleh karena itu, dalam penelitian, etnis seseorang juga disebutkan, mengingat terapi yang diperlukan kemungkinan bisa berbeda.
Tapi Raisa menjelaskan juga, sebagai peneliti kanker, tugasnya adalah bekerja di laboratorium. Jadi berbeda dengan dokter yang menangani pasien secara langsung dan memutuskan perawatan seperti apa yang harus diberikan kepada pasien.
Tantangan pasti ada
Tantangan terbesar saat penelitian misalnya, mengingat dia mengadakan penelitian yang steril dan dengan hewan, dia harus menjaga agar mencit-mencit yang ia gunakan dalam kondisi sehat dan siap untuk diikutsertakan. Jika misalnya ada kontaminasi, baik oleh bakteri, jamur atau Mycoplasma pada salah satu peralatan yang digunakan, penelitian akan terganggu.
Ia mengambil contoh, seorang rekannya di laboratorium yang percobaannya terkontaminasi bakteri Mycoplasma. Kontaminasi seperti itu bisa menyebar ke seluruh laboratorium. Ketika itu terjadi, semua orang yang meneliti di laboratorium terpaksa berhenti bekerja, dan semua sel yang diteliti harus dicek, apakah terkontaminasi pula. Kejadian seperti itu menghambat penelitian. “Ya itu kadang-kadang menjengkelkan,” kata Raisa sambil tersenyum.
Selain tantangan di bidang penelitian dan pekerjaannya, Raisa merasakan tantangan jika harus berbaur dengan orang Jerman, karena tidak bisa berbahasa Jerman. “Institut patologi diklinik universitas Heidelberg memang internasional, jadi kami sehari-hari memakai bahasa Inggris,“ kata Raisa. Tapi untuk bisa mempunyai teman karib orang Jerman, dia merasa sulit, walaupun dia sudah tinggal enam tahun di Jerman. “Tapi kalo teman-teman internasional banyak, sih.“ Dengan mereka, Raisa misalnya punya grup untuk chatting, dan biasa pergi makan bersama-sama.
Meskipun demikian, Raisa yakin, apa yang dikatakan orang benar, bahwa jika sudah kenal orang Jerman bisa jadi teman baik. “Tapi untuk sampai ke situ sulit,“ katanya sambil tertawa.
Menyesuaikan diri dengan “orang Jerman“
Meskipun demikian, dia punya pengalaman sangat postif bersama orang Jerman. Ketika dia harus pindah rumah, kolega-kolega di laboratorium tempat dia bekerja membantu dengan sukarela, misalnya untuk transportasi barang. Mereka juga langsung menawarkan bantuan, ketika mendengar Raisa akan pindah rumah.
Awalnya, dalam berkomunikasi dengan orang Jerman, ia tentu juga perlu penyesuaian. Dulu dia kerap merasakan keraguan jika ingin menyampaikan pendapatnya, apalagi jika tidak setuju dengan sesuatu. Tetapi sekarang itu sudah bisa ia atasi, juga dalam komunikasi dengan teman-teman sejawat.
Ia juga bercerita, awalnya merasa sungkan untuk memanggil atasan atau pembimbing dengan nama depan saja, seperti banyak dilakukan di Jerman, karena di Indonesia orang kerap menyebut juga gelar atasan atau pembimbing, jika memanggil mereka.
Tapi satu hal unik yang sudah dia alami beberapa kali adalah sikap orang Jerman yang kurang ramah di jalanan. Tepatnya dari para pengemudi mobil, yang dia rasa menegur dengan cara kurang ramah, sehingga Raisa yang biasanya mengendarai sepeda merasa “dimarah-marahin.“ Padahal masalahnya kecil, dan sesungguhnya tidak perlu sampai marah-marah di jalan.
Di Jerman, dia akui, orang harus bisa mandiri. ”Kalau di Indonesia ada banyak servis seperti Gojek, jadi di Indonesia kita hanya perlu duduk manis dan menggunakan HP, makanan sudah datang.” Sedangkan di Jerman, semua itu tidak lazim, bahkan bagi orang yang berpendapatan tinggi. “Di Indonesia people service lebih banyak dan lebih murah.“ Jadi di Jerman kita harus belajar mandiri, begitu kesimpulan Raisa. (ml/hp)