Kebebasan Pers Dianggap Mati di Papua
3 Mei 2017Meski posisi Indonesia meningkat enam peringkat pada Indeks Kebebasan Pers Internasional, nasib jurnalis di tanah air belum banyak berubah, terutama di Papua. Kesimpulan tersebut dirangkum organisasi Wartawan Tanpa Batas, Reporters sans frontières (RSF).
Saat ini Indonesia berada di posisi 124 dari 180 negara. Namun skor global Indonesia menurun sebanyak 1,75 poin dari tahun sebelumnya. Penyebabnya tidak lain adalah meningkatnya kasus kekerasan terhadap wartawan. Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen, jumlah kasus kekerasan mencapai 76 kasus pada 2016, "meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya," kata Iman D. Nugroho.
RSF terutama mengritik Presiden Joko Widodo karena dianggap lalai menepati janji. "Masa kepresidenannya ditandai oleh pelanggaran serius terhadap kebebasan pers, termasuk minimnya akses media ke Papua Barat," tulis Reporters sans frontières dalam laporannya. RSF juga mengecam meningkatnya tindak kekerasan terhadap wartawan di Papua.
Namun begitu Wakil Presiden Jusuf Kalla membantah pemerintah membatasi akses media asing. "Kebebasan pers itu tidak ada batas wilayah. Apa yang terjadi di Jakarta, berlaku di Papua dan di Sulawesi,” ujarnya kepada awak pers pada acara World Press Freedom Day di Jakarta, Selasa (3/5).
Kritik terhadap pemerintah antara lain berpangkal pada kasus Yance Wenda. Fotografer situs berita lokal, Jubi, itu ditangkap dan dianiaya aparat kepolisian saat sedang meliput aksi demonstrasi Komite Nasional Papua Barat di Sentani, Senin (1/5). Ia ditahan polisi selama empat jam dan dipukul dengan "pistol dan tongkat."
Kepala Kepolisian Resor Jayapura, Gustav Urbinas, mengakui pihaknya menangkap Wenda, tapi membantah menggunakan tindak kekerasan terhadap korban. Namun keterangan tersebut disanggah oleh bukti foto luka-luka yang dialami Wenda setelah ditahan aparat.
Kasus Wenda bukan hal asing. AJI melaporkan wartawan kerap menghadapi intimidasi oleh oknum tentara karena meliput pelanggaran oleh militer di Papua.
Papua bukan pula ancaman terbesar terhadap kerja media. AJI mengeluhkan organisasi masyarakat radikal berulangkali kedapatan memukul atau mengintimidasi wartawan. Akhir 2016 silam anggota Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI dilaporkan mengintimidasi dan menangkap tiga wartawan saat meliput aksi demonstrasi.
Intimidasi juga dialami wartawan lain saat meliput aksi demonstrasi kelompok muslim garis keras di Jakarta di tengah masa kampanye Pilkada DKI Jakarta.
rzn/yf (rsf, aji, kompas, jubi)