Pressefreiheit in Gefahr
30 April 2012Aksi perlawanan di berbagai negara Arab memang telah memicu perubahan yang mendalam. Tetapi, ini tidak berarti bahwa tugas wartawan menjadi lebih mudah. Michael Rediske, jurubicara pimpinan organisasi Reporter Lintas Batas di Jerman mengatakan, ukuran kebebasan pers setiap negeri, sangat berbeda. Misalnya di Tunisia, kondisi kerja bagi wartawan tidak begitu berbahaya ketimbang sebelumnya. Sementara di Suriah, sejumlah wartawan tercatat tewas sejak dimulainya pertempuran di negeri itu. Bagi para wartawan, situasi di Suriah saat ini sama berbahayanya dengan di Irak beberapa tahun yang lalu. "Musim Semi Arab telah memicu sejumlah konflik besar", ujar Rediske. "Para jurnalis harus berada di lokasi kejadian, dan di sana mereka tentunya diserang, terutama oleh pemerintah."
"Musim Semi Arab" masih belum membawa ketenangan
Di negara tertentu harapan masih belum juga terpenuhi. "Misalnya di Mesir yang sebelumnya menggantungkan harapan yang besar. Negara ini merosot kembali ke urutan bawah di daftar kami. Pasalnya, pemerintah militer Mesir memberlakukan UU darurat baru, dan kebebasan pers kembali dibatasi", demikian Michael Rediske.
Organisasi Reporter Lintas Batas setiap tahun mempublikasikan laporan indeks kebebasan pers negara-negara di seluruh dunia. Laporan kali ini mencakup 179 negara. Di negara-negara ini, organisasi itu tidak hanya menanyai wartawan, tetapi juga ilmuwan, pakar hukum dan aktivis HAM.
Eritrea menjadi juru kunci
Terjebak di daftar terbawah adalah negara-negara yang hanya sedikit atau sama sekali tidak mengindahkan kebebasan pers. Eritrea berada di tempat terbawah, dan ini tidak merupakan kejutan, kata Pierre Ambroise yang mengamati negara-negara Afrika bagi Reporter Lintas Batas. "Eritrea adalah tempat terburuk bagi jurnalis. Kebebasan pers dicabut sepuluh tahun yang silam. Saat ini semua jurnalis bekerja bagi media pemerintah dan harus mematuhi peraturan dari Kementrian Informasi Eritrea, Siapa yang melawan, dijebloskan ke penjara."
Angola juga dinilai buruk, meskipun negeri itu secara ekonomi mengalami kemajuan. Pengaruh pemerintahan terhadap media juga besar. Jurnalis dan aktivis HAM Rafael Marques mengkritik situasi ini dalam blognya www.makaangola.org: "Di antara para pemilik satu-satunya stasiun TV swasta, TV Zimbo, terdapat dua pejabat berpengaruh dari rezim Angola." Blog "Marques" tahun ini termasuk dalam deretan finalis Deutsche Welle Blog Awards (BOBs).
Perkembangan posisitf di Namibia dan Tanjung Verde
Namun kabar yang sangat baik juga terdengar dari Afrika: "Untuk pertama kalinya, pada daftar 20 negara yang terbaik terdapat dua negara Afrika, yaitu Namibia dan Tanjung Verde", tegas Michael Rediske. Ia menambahkan, hal ini juga merupakan dampak dari keadaan politik yang stabil di kedua negara.
Sedangkan di Asia, Indonesia misalnya menduduki posisi ke-146. Sementara Cina masih tetap merupakan masalah besar. Menurut Reporter Lintas Batas, jumlah jurnalis dan blogger yang dipenjara di Cina merupakan yang tertinggi di dunia. Saat ini, kegiatan penyensoran di Cina terutama difokuskan pada internet. Layanan berita pendek yang menyerupai twitter, yaitu "Weibo", merupakan duri di mata badan sensor Cina.
Cina memiliki jumlah terbesar jurnalis yang ditahan
Jeremy Goldkorn, seorang blogger yang saat ini tinggal di Cina mengatakan: "Internet dan tawaran Weibo memungkinkan orang-orang untuk mengeluarkan pendapat. Memang ini lebih bebas ketimbang sebelumnya. Namun bersamaan dengan itu, informasi mengalir seperti tsunami, dan sebelumnya tidak pernah sebanyak itu. Sekitar 300 juta warga Cina kini sedikitnya memiliki akun Weibo.
Goldkorn melanjutkan, sensor memang lebih ketat. Misalnya, sebuah peraturan yang menyebutkan bahwa semua pengguna Weibo hanya boleh mendaftarkan diri dengan nama asli. Tetapi hingga sekarang peraturan ini tidak dilaksanakan. Sensor hanya terbatas pada metode tradisional. Akhir Maret lalu, semua fungsi komentar atas berita-berita pendek dimatikan selama tiga hari. Kebijakan itu antara lain untuk melarang diskusi mengenai pertarungan kekuasaan di politbiro Partai Komunis Cina.
Di Afghanistan ancaman bagi kebebasan bukan datang dari sensor negara tapi lebih karena intimidasi, terutama oleh Taliban dan warlord yang terkait dengan Taliban. Setelah jatuhnya rezim Taliban 2001, peta media di negeri itu berkembang cukup cepat dan beragam. Meskipun begitu, Reporter Lintas Batas menilai kebebasan pers masih sangat dibatasi.
Ancaman mati melalui perang narkoba
Melakukan tugas jurnalis juga berbahaya di sejumlah negara Amerika Latin. Misalnya di Meksiko dan Honduras, di mana perang berkecamuk antara mafia narkotika dengan militer. Brasil juga tercatat sebagai negara yang yangat berbahaya bagi profesi wartawan.
Eropa Timur juga mendapat sorotan. Belarus misalnya, media dikontrol oleh pemerintah di bawah rezim Alexander Lukashenko. Sementara di Rusia, laporan-laporan media swasta juga dibatasi.
Indeks Eropa cukup baik
Michael Klehm dari Ikatan Jurnalis Jerman mengungkapkan kepada Deutsche Welle, dilihat secara internasional Eropa cukup baik dalam isu kebebasan pers, termasuk Jerman. Hal ini tercermin dalam daftar indeks, di mana delapan negara Eropa, yaitu Finlandia, Norwegia, Estonia, Belanda, Austria, Islandia, Luksemburg dan Jerman menduduki urutan teratas. Jerman yang jurnalisnya saat ini khawatir akan ancaman perlindungan sumber informasinya melalui rencana penyimpanan jangka panjang data telefon dan internet, hanya harus puas dengan posisi ke-16.
Marko Müller/Christa Saloh-Foerster
Editor: Andy Budiman