1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kebuntuan di Belanda, Krisis di Libanon

25 November 2006

Situasi politik dan ketidakpastian di Belanda masih jadi sorotan pers Eropa dan internasional.

https://p.dw.com/p/CPIJ
Balkenende menang, tapi perundingan koalisi pasti alot
Balkenende menang, tapi perundingan koalisi pasti alotFoto: AP

Pemilihan parlemen di Belanda sudah selesai, tapi masih belum jelas bagaimana kelanjutan pemerintahan di negara itu.

Harian Swiss Neue Zürcher Zeitung menulis:

"Trend yang sejak beberapa waktu lalu sudah terlihat di negara-negara Eropa, sekarang sampai juga di Belanda. Partai-partai tradisional besar kehilangan kekeuatan. Pada pemungutan suara hari Rabu (22/11) di Belanda, kedua partai terbesar juga harus mengalami hal ini. Masyarakat Belanda membuktikan, dua blok besar itu bukan lagi pilihan alternatif. Di Jerman, perkembangan seperti ini memaksa kedua partai terbesar Jerman membentuk koalisi. Juga di Austria ini sangat mungkin terjadi. Di Belanda situasinya lebih rumit. Pembentukan pemerintahan kelihatannya akan melalui perundingan rumit dan alot.“

Tidak hanya di Eropa, hasil pemilu Belanda disoroti, melainkan juga di Amerika Serikat. Harian Wall Street Journal yang terbit di New York berkomentar:

“Jan Pieter Balkenende, Perdana Menteri Belanda, berusaha melakukan perombakan dan pembaruan yang menyakitkan. Ini membuat popularitasnya anjlok. Beberapa bulan terakhir malah jajak pendapat menunjukkan ia akan tersingkir. Sekarang hasil pemilu ternyata menunjukkan, koalisi dua partai besar pun tidak cukup, partai ketiga harus dilibatkan. Seperti terlihat pada koalisi besar di Jerman, pemerintahan Balkenende yang baru tampaknya tidak akan mampu membuat terobosan besar seperti pemerintah terdahulu.“

Tema lain yang masih disoroti adalah situasi di Libanon yang makin kacau, setelah pembunuhan tokoh politik Pierre Gemayel. Banyak pihak menuding Suriah di belakang aksi tersebut. Lalu bagaimana dengan kepentingan Iran? Harian Perancis Le Figaro menulis:

“Destabilisasi di negara itu bisa jadi argumen bagi Damaskus untuk kembali ke panggung politik Libanon. Sementara untuk Teheran tentu juga ingin menarik manfaat, setelah gagalnya serangan Israel ke Libanon. Iran ingin agar kaum Syiah lebih terwakili dalam pemerintahan di Libanon. Paling tidak, kedua pihak punya kepentingan agar aliansi antara kubu Kristen dan kubu Sunni makin lemah.“

Kekalutan politik di Libanon memang makin sering disoroti dalam kaitannya dengan peran Suriah dan Iran. Harian Italia La Repubblica menilai:

"Pertarungan di Libanon akan ditentukan di Teheran dan Damaskus. Dan tentu juga di Washington. Jadi bukan di Beirut, di mana kepergian Pierre Gemayel sedang ditangisi. Libanon adalah kasus tragis pertarungan yang jauh lebih luas. Di sini terdapat berbagai aspek yang dengan cepat bisa mengubah kawasan ini jadi arena pertempuran. Namun selain itu, di Libanon ada juga upaya menggabungkan berbagai komunitas untuk hidup bersama dalam sistem demokratis di tengah-etngah dunia Arab.“