1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kebuntuan Politik di Irak Bagian dari Demokratisasi?

2 Juni 2022

Sejak pemilihan umum Oktober lalu, Irak belum memiliki pemerintahan karena politisi belum berhasil membentuk koalisi. Apakah proses panjang itu pertanda positif bagi demokrasi di irak atau malah berbahaya?

https://p.dw.com/p/4C8mJ
Penghitungan suara pemilu Irak, 13 Oktober 2021
Penghitungan suara pemilu Irak, 13 Oktober 2021Foto: Murtadha Al Sudani/AA/picture alliance

Sudah 200 hari, Irak masih tanpa pemerintahan resmi. Meskipun ini bukan rekor terlama di dunia, yang dipegang oleh Belgia, dengan lebih dari 500 hari. Pemilu terakhir Irak dilangsungkan pada 10 Oktober 2021, hasilnya secara resmi telah disahkan pada akhir Desember. Pemenangnya adalah aliansi Sairoun, sayap politik gerakan yang dipimpin oleh ulama muslim Syiah terkemuka Muqtada al-Sadr.

Sejak tahun lalu, Partai Sairoun dan Muqtada al-Sadr telah berusaha membentuk koalisi dengan partai-partai lainnya, tetapi masih tanpa hasil. Sebelumnya, partai politik Irak biasanya akan berkoalisi sesuai dengan komposisi penduduknya. Ada tiga kelompok utama, dua didasarkan pada agama — muslim Syiah dan muslim Sunni — dan yang terakhir berdasarkan etnis Kurdi Irak.

Yang menghambat pembentukan pemerintahan adalah pembentukan pemerintahan mayoritas, dengan kubu oposisi di parlemen. Ini berbeda dengan prosedur pembentukan pemerintahan sebelumnya, di mana setiap kubu mendapatkan peran berbeda, tanpa ada kubu oposisi yang nyata.

Irak | Präsident Barham Saleh | PK in Bagdad
Presiden Barham Saleh dari etnis Kurdi sekarang menjabat sebagai presiden interim sampai terbentuk pemerintahan baruFoto: Marin Ludovic/Pool/ABACA/picture alliance

Kemajuan demokrasi?

Apakah pertarungan memperebutkan pemerintahan mayoritas saat ini, yang berlangsung cukup alot, dapat dipandang sebagai bagian dari proses demokratisasi? Apakah ini merupakan indikator kemajuan dalam evolusi demokrasi Irak yang rumit?

Terlepas dari kebuntuan politik ini, kekerasan yang terjadi sekarang relatif lebih sedikit. Sebelumnya, partai-partai yang kalah dalam pemilihan Oktober — antara lain kubu Fatah, aliansi yang terkait dengan paramiliter mapan Irak — tampaknya ingin merebut kekuasaan meskipun mereka kalah dalam pemilu. Mereka dianggap berada di balik serangan terhadap kantor partai pesaing dan upaya pembunuhan terhadap perdana menteri. Namun sejak itu, kekerasan sebagian besar telah mereda.

Selain itu, pengadilan tertinggi Irak belum lama ini mengeluarkan beberapa keputusan penting tentang validitas pemilu. Putusan ini tampaknya telah diterima oleh para pemimpin politik yang kalah.

Pendukung partai Sairoun mengusung gambar pemimpin mereka, Muqtada al-Sadr
Pendukung partai Sairoun yang memenangkan pemilu mengusung gambar pemimpin mereka, Muqtada al-SadrFoto: Ayman Yaqoob/AA/picture alliance

Harapan dan kekhawatiran

Ada aspek negatif dan positif dari kemacetan politik saat ini, kata para ahli kepada DW. Perebutan kekuasaan mayoritas dapat dilihat sebagai terobosan yang berpotensi positif, kata Fanar Haddad, asisten profesor di Universitas Kopenhagen dan pakar politik Irak.

Namun, situasi dasarnya tidak berubah, katanya kepada DW, dan partai-partai politik yang didukung oleh milisi bersenjata masih memiliki kekuatan. "Salah satu alasan mereka belum bisa membentuk pemerintahan justru karena kekuatan yang dimiliki pihak lain,” kata anar Haddad. "Saya tidak bisa melihat perubahan mendasar dalam ekonomi politik Irak."

Bagi Sajad Jiyad, analis politik yang berbasis di Irak dan rekan di lembaga pemikir Century Foundation, kebuntuan politik saat ini adalah pertanda buruk. "Kalau soal memaksimalkan kekuatan politik untuk sekte atau etnis, partai-partai bersatu melawan lawan-lawannya,” jelasnya. "Namun, sekarang pertarungan politik itu intra-sekte dan masing-masing partai bersaing dengan rival internal. Ini adalah pertarungan untuk bertahan hidup. Jadi lebih kejam dan lebih berbahaya dan membuat politik jadi lebih sulit," katanya.

Para ahli yang berbicara dengan DW memprediksi kebuntuan politik saat ini kemungkinan besar akan berakhir dengan semacam kompromi. Memang ada seruan untuk pemilu baru, tetapi ini membawa terlalu banyak ketidakpastian, sehingga tidak ada aktor politik yang menginginkan ini, kata Sajad Jiyad. "Sebuah kompromi kemungkinan besar akan dicapai, di mana kedua belah pihak dapat mengklaim kemenangan ... mereka menang dalam beberapa aspek," jelasnya.

(hp/ha)