Beberapa Keluarga di Irak Makamkan Ulang Kerabat
14 September 2020Mohammad al-Bahadli menggali pasir di tengah gurun yang panas di Irak dengan tangan kosong untuk mencapai mayat ayahnya.
"Sekarang dia akhirnya bisa (beristirahat dengan tenang) bersama orang-orang kami, keluarga kami, di kuburan tua," kata Bahadli, yang berusia 49 tahun, di tengah isak tangis para kerabatnya di atas jenazah yang terbungkus kain kafan.
Setelah pembatasan COVID-19 dilonggarkan, warga Irak menggali kuburan-kuburan untuk memakamkan kembali jenazah keluarganya di pemakaman keluarga.
Pemindahan kuburan
Selama berbulan-bulan, keluarga dari mereka yang meninggal dunia setelah tertular COVID-19 dilarang membawa jenazahnya kembali untuk dikuburkan di kuburan keluarga, karena khawatir jenazah masih bisa menyebarkan virus.
Pihak berwenang lalu mendirikan "pemakaman COVID-19" di sebidang gurun di luar Kota Najaf, di mana para sukarelawan dengan perlengkapan pelindung mengubur para korban dengan jarak lima meter.
Hanya satu anggota keluarga yang diizinkan menghadiri penguburan yang dilakukan dengan cepat, dan seringnya penguburan itu dilakukan di tengah malam.
Korban COVID-19 dari semua aliran agama - baik Syiah dan Sunni, Kristen dan lainnya - dimakamkan di sana.
Namun pada September, pihak berwenang Irak mengumumkan mereka mengizinkan pemindahan jenazah yang tertular COVID-19 ke pemakaman pilihan keluarga mereka.
Banyak dari mereka yang meninggal karena wabah dan dikubur di bawah aturan darurat berasal dari kawasan-kawasan lain. "Pertama kali dikubur, dia dimakamkan begitu jauh," kata Bahadli tentang upacara pemakaman ayahnya yang berusia 80 tahun. "Saya tidak yakin itu dilakukan secara agama dengan benar."
Di "pemakaman virus korona" di gurun di luar Kota Najaf, ratusan keluarga mulai berdatangan Kamis malam lalu untuk menggali kubur anggota keluarga mereka dan membawa pulang jenazahnya. Mereka membawa sekop sendiri, keranjang untuk menyendok pasir, dan peti kayu baru untuk jenazah keluarganya yang meninggal.
Duka kembali berulang
Suara isak tangis dan doa duka cita bercampur baur dengan denting beliung bergema di gurun pasir. Tidak ada tenaga medis profesional atau pemandu pemakaman di lokasi untuk membantu keluarga-keluarga itu dalam menemukan atau mengajarkan cara menggali jenazah dengan benar, kata seorang koresponden AFP.
Dalam beberapa kasus, keluarga yang menggali situs kuburan yang ditandai dengan nama anggota keluarga yang dikubur hanya menemukan peti mati kosong. Pernah juga terjadi ketika mereka mengharapkan menemukan mayat ibu mereka di bawah tanah, yang ditemukan malahan jenazah seorang pemuda.
Sementara jenazah-jenazah lain tidak dibungkus dengan kain kafan. Temuan itu memicu kemarahanterhadap kelompok bersenjata yang didukung negara yang bertanggung jawab atas penguburan dalam beberapa bulan terakhir. Sejumlah orang meluapkan amarahnya dengan membakar pangkalan faksi kelompok bersenjata yang berlokasi dekat kawasan itu.
Kewalahan memakamkan korban saat COVID-19 memuncak
Paramedis Sarmad Ibrahim yang dulunya bergabung dengan brigade milisi Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) Irak dan berperang melawan milisi Islamic State (ISIS) mengaku sempat kewalahan ketika kematian akibat COVID-19 mencapai puncaknya di Irak. Dikutip dari Reuters ia mengatakan sebagai relawan yang diperbantukan untuk penanganan krisis corona, dia dan rekan-rekannya dari brigade yang sama harus memahami upacara pemakaman Islam dan Kristen. Ia mengakui, „Jika kami mulai menerima lebih banyak jenazah, kami mungkin tidak dapat menguburkan menurut aturan agama.”
Beberapa petugas medis mengatakan tugas ini telah mengasingkan kehidupan mereka dari keluarga dan tetangga, meskipun tidak ada bukti COVID-19 dapat menyebar melalui mayat. „Jika kami menghadapi kekurangan tenaga, saya harus meminta teman atau rekan lain untuk datang dan membantu kami. Saya takut jika seseorang tertular virus, kerabat mereka akan menyalahkan saya karena itu," kata seorang milisi berusia 46 tahun, yang menyebut namanya sebagai Abu Sajad. Dia sendiri tidak memberi tahu keluarganya bahwa dia bekerja di pemakaman. Sementara teman-temannya yang tahu ia memakamkan jenazah COVID-19, enggan bertemu dengannya.
Apakah pemakaman ulang dilarang?
"Para penggali kuburan tidak memiliki keahlian atau perlengkapan yang tepat," kata Abdallah Kareem, yang saudaranya Ahmed meninggal karena komplikasi COVID-19."Mereka bahkan tidak tahu bagaimana menemukan kuburan itu," katanya kepada AFP.
Kareem, yang datang dari sekitar 230 kilometer ke selatan Provinsi Muthanna, memilih untuk tidak menguburkan kembali saudaranya jika hal itu melanggar fatwa agama. Dalam Islam, almarhum harus dimakamkan secepatnya, biasanya dalam waktu 24 jam.
Kremasi dilarang keras dan pemakaman kembali hampir tidak pernah terdengar - meskipun belum tentu dilarang jika tubuhnya tetap utuh, kata seorang ulama Najaf kepada AFP.
Terlepas dari kerumitan usaha untuk menguburkan kembali, beberapa keluarga tetap lega bahwa kerabat mereka yang meninggal dunia dimakamkan dengan cara penguburan tradisional. “Sejak ayah saya dimakamkan di sini, saya terus mengulang kata-katanya di kepala saya sebelum dia meninggal: 'Anak saya, cobalah untuk menguburkan saya di pemakaman keluarga, jangan biarkan sayaterlalu jauh dari kerabat saya,'" ujar Hussein, yang hanya memberikan nama depannya kepada AFP.
Pria berusia 53 tahun itu menggali tubuh ayahnya dengan tangan untuk dipindahkan ke pemakaman Wadi al-Salam yang luas, tempat di mana jutaan umat Syiah dimakamkan. "Mimpi yang menghantui saya selama beberapa bulan terakhir ini telah terwujud," kata Hussein.
ap/hp (afp/rtr)