Kenaikan Suhu Bumi Lampaui Batas Aman Pada 2030
10 Agustus 2021Pencemaran karbondioksida sudah sedemikian gawat, dunia diprediksi hanya punya waktu 15 tahun sebelum melampaui ambang batas kenaikan suhu sebesar 1,5 derajat Celcius pada akhir abad.
Kesimpulan itu termasuk dalam laporan Panel Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang beranggotakan 195 negara. Studi yang dirilis Senin (9/8) itu menganalisa lebih dari 14.000 studi iklim untuk memberikan gambaran yang paling jelas tentang kondisi planet saat ini.
"Laporan ini membuka mata kita," kata Valérie Masson-Delmotte yang ikut menyusun studi tersebut.
Dengan membakar bahan bakar fossil dan melepaskan gas rumah kaca ke atmosfer Bumi, aktivitas manusia menghangatkan suhu rata-rata Bumi sebanyak 1,1 derajat Celcius. Di seluruh dunia, kondisi ini meningkatkan potensi terjadinya gelombang panas, hujan lebat atau siklon tropis. Adapun di sejumlah kawasan, musim kemarau diprediksi akan berlangsung lebih lama.
Sejak laporan terakhir IPCC pada 2014 silam, ilmuwan kini lebih yakin bahwa perubahan iklim memperkuat potensi kebakaran hutan, bencana banjir atau cuaca ekstrem. Solusi paling cepat adalah mengurangi penggunaan bahan bakar fossil. Tapi laju dekarbonisasi sejauh ini terhadang sikap pemerintah, pelaku usaha atau konsumen.
"Ketika saya melihat hasil temuan kami, saya berpikir kita sudah menghadapi krisis iklim," kata Sonia Seneviratne, ilmuwan iklim di Institute for Atmospheric and Climate Science di Universitas ETH Zuric, Swiss. "Kita punya masalah yang sangat besar."
Seberapa cepat perubahan iklim memanaskan Bumi?
Pada 2015, pemimpin dunia berjanji memperlambat laju pemanasan global di bawah 2 derajat Celcius, atau paling ideal 1,5 derajat Celcius. Namun saat ini dunia sedang mengarah pada level kenaikan sebesar 3 derajat Celcius, menurut lembaga Jerman, Climate Action Tracker.
Meski sasaran 1,5 Celcius akan gagal tercapai dalam beberapa dekade ke depan, rata-rata suhu Bumi bisa dikembalikan ke level aman pada akhir abad dengan menerapkan pengurangan emisi yang ekstrem. Selain dekarbonasi ekonomi, rencana itu juga melibatkan upaya penyedotan CO2 dari atmosfer Bumi. Tapi teknologi yang dibutuhkan masih sedemikian mahal, sehingga cara ini diragukan bisa ampuh dalam skala yang dibutuhkan.
"Akan lebih mudah untuk tidak memproduksi emisi ketimbang melampaui anggaran karbon kita lalu berusaha menyedot emisi dari atmosfer Bumi," kata Malte Meinshausen, ilmuwan di Potsdam Institute for Climate Impact Research di Jerman. "Ongkosnya akan lebih tinggi ketimbang metode yang kita miliki saat ini."
Hilangnya "bahan bakar fossil"
Saat ini sumber tebesar gas rumah kaca adalah pembakaran batu bara, minyak dan gas. Namun laporan setebal 43 halaman yang dibuat khusus untuk pembuat kebijakan dan diperiksa oleh delegasi pemerintah, tidak mencantumkan kata "bahan bakar fossil."
Ilmuwan yang terlibat dalam penyusunan laporan tidak diizinkan mengomentari adanya versi berbeda itu.
"Dalam materi yang disusun para ilmuwan, bahan bakar fossil jelas tercantum," kata Meinshausen. Tapi menurutnya meski tanpa kata-kata tersebut, "adalah pencapaian yang besar untuk mendapat persetujuan dari semua negara. Tidak satu pun negara di dunia kini bisa mengatakan mereka tidak percaya apa yang ditulis IPCC."
"Sains berdiri sendiri dan tidak dikoreksi dalam prosesnya,"kata Freiderike Otto dari University of Oxford yang ikut menulis studi tersebut.
Laporan IPCC adalah dokumen pertama dari tiga studi yang akan dirilis menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Iklim, COP26, di Inggris, November mendatang. Pasca Perjanjian Paris, negara-negara dunia dinilai masih terlampau lamban dalam memenuhi komitmen masing-masing.
Pada COP26 nanti, negara peserta diharapkan akan mau berkomitmen menghentikan penggunaan batu bara pada 2030, dan menepati komitmen negara kaya untuk membayarkan dana mitigasi iklim sebesar 100 miliar per tahun untuk negara miskin pada 2020. Janji ini pun sejauh ini belum ditepati.
rzn/pkp