Kenapa Gelombang Kudeta di Afrika Barat Sulitkan Uni Eropa?
5 September 2023Syahdan, serangkaian kudeta di Afrika mendominasi agenda pertemuan menteri luar negeri dan pertahanan Uni Eropa di Spanyol pada pekan lalu. Rubuhnya supremasi sipil di Niger dan Gabon dianggap sebagai indikasi melemahnya pengaruh UE di wilayah Sub Sahara.
"Sudah jelas, bahwa kudeta di Niger membuka era ketidakstabilan baru di kawasan yang sudah sangat rentan,” kata Komisaris Luar Negeri UE, Josep Borell, di sela-sela pertemuan.
UE mendapati diri meniti dua konflik yang berbeda. Gabon, kata menteri luar negeri Spanyol, dipimpin oleh kakak beradik selama lebih dari 50 tahun dan didera tuduhan kejanggalan dalam pemilu teranyar.
Sebaliknya di Niger, yang merupakan sekutu dekat UE, kudeta justru dianggap mengancam kelangsungan kerja sama keamanan untuk menanggulangi ancaman kaum ekstremis.
KTT di Toledo itu menawarkan "kesempatan bagi kami untuk mengkaji ulang kebijakan Uni Eropa di Afrika,” kata Borell. UE antara lain sepakat membentuk kerangka hukum untuk memberi sanksi bagi pihak yang terlibat dalam kudeta di Niger, serupa langkah Masyarakat Ekonomi Afrika Barat (ECOWAS).
Ketegangan enggan mereda di Niger
ECOWAS bahkan mempertimbangkan intervensi militer jika pemimpin kudeta Niger tidak segera memulihkan konstitusi. Delegasi ECOWAS dan Menlu Niger, Bakary Yaou Sangare, juga diundang ke pertemuan di Spanyol.
Ketika ditanya apakah UE akan mendukung langkah ECOWAS, Borell mengatakan pihaknya harus menunggu proposal yang diajukan kelompok beranggotakan 15 negara tersebut.
"Solusi dari Afrika untuk masalah di Afrika,” kata dia. "Kami saat ini hanya mendengarkan.”
Namun begitu, Menlu Italia, Antonio Tajani, lebih dulu membuat desakan agar ECOWAS mendahulukan dialog. "Posisi kami adalah solusi diplomatik, bukan aksi militer terhadap Niger,” kata dia.
Evaluasi tanpa jawaban
Sejak 2020, Afrika Barat mengalami gelombang kudeta yang diawali di Burkina Faso, Guinea dan Mali. UE memprediksi akan ada lonjakan sentimen anti-Prancis di negara bekas jajahannya tersebut.
Pada saat yang sama, Rusia turut berekspansi secara militer di Mali, Burkina Faso dan Republik Afrika Tengah. "Rusia tidak mendalangi kudeta di Niger. Tapi mereka akan memanfaatkan situasinya, ketidakstabilan inim untuk kolonisasi baru,” kata Tajani.
"Cina akan berbuat serupa, tapi Rusia saat ini lebih berbahaya karena keberadaan Grup Wagner,” imbuhnya merujuk pada kelompok tentara bayaran yang disetir pemerintah di Moskow itu.
Salah satu perkara yang turut dibahas adalah keberadaan militer Prancis di Niger. Belum lama ini, Paris pun sudah harus menarik pasukannya di Mali setelah memburuknya relasi diplomatik. Namun di Niger pemerintah bersikeras untuk bertahan, meski telah diminta hengkang oleh kelompok kudeta.
Bertahan mungkin bukan hal bijak, kata Martin Ronceray dari Pusat Pengembangan Manajemen Kebijakan Eropa di Brussels.
"Ada banyak desakan agar Prancis menarik diri sepenuhnya dari semua kepentingannya di Afrika demi meminimalisir kerugian. Dalam kasus Niger, mereka mungkin ada benarnya,” kata Ronceray.
rzn/rs