Kenapa Larangan terhadap Partai Imran Khan Berbahaya?
18 Juli 2024Popularitas mantan Perdana Pakistan Menteri Imran Khan enggan mengendur, meskipun digulingkan dua tahun lalu dalam mosi tidak percaya dan menghadapi ragam dakwaan, mulai dari korupsi hingga pengkhianatan.
Pada pemilihan umum di bulan Februari, Partai Pakistan Tehreek-e-Insaf (PTI) pimpinan Khan memenangkan kursi terbanyak, bahkan setelah menghadapi perundungan politik dan dugaan kecurangan dalam pemungutan suara oleh partai lain.
Kini, beberapa hari setelah keputusan Mahkamah Agung secara hukum mengakui PTI sebagai sebuah partai, yang sekaligus mengesahkan perolehan kursi terbanyak di Parlemen Pakistan, pemerintah koalisi, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Shehbaz Sharif, mengatakan akan berusaha menerbitkan larangan terhadap partai Khan.
"Kami yakin ada bukti yang dapat dipercaya bahwa PTI harus dilarang,” kata Atta Tarar, Menteri Informasi Pakistan, kepada DW. Dia mengutip beberapa tuduhan yang ditujukan terhadap Khan, termasuk membocorkan rahasia negara, menerima dana asing, dan menghasut kerusuhan setelah pemecatannya.
Pengganyangan Imran Khan
Pemerintahan koalisi Pakistan yang dipimpin oleh Liga Muslim Pakistan (PML-N) yang dikuasai dinasti Sharif, secara luas dipandang sebagai sekutu militer, yang menurut para analis memiliki sejarah panjang campur tangan dalam politik.
Imran Khan menjadi perdana menteri pada tahun 2018 dan digulingkan pada tahun 2022 setelah berselisih dengan para jenderal.
Buntutnya, seisi negeri dilanda protes selama berminggu-minggu setelah dia digulingkan dari kekuasaan. Pendukung Khan dikabarkan bentrok dengan aparat keamanan, dan bahkan menggerebek markas militer.
Imran Khan yang berusia 71 tahun itu telah dipenjara sejak Agustus 2023 dan dilarang mencalonkan diri dalam pemilu.
Meskipun hukuman terhadapnya dibatalkan oleh pengadilan di Islamabad pada hari Sabtu (14/07), dia tidak dibebaskan dan masih dipenjara atas tuduhan lain.
Pelarangan PTI ciptakan keresahan politik?
Analis mengaku khawatir bahwa pelarangan PTI dapat meningkatkan angka kekerasan politik dan memicu krisis konstitusi di Pakistan.
Pengamat politik Zahid Hussain mengatakan kepada DW bahwa pelarangan partai tersebut akan menjadi "bencana” yang berpotensi "menyebabkan kejatuhan pemerintah.”
"Sangat sedikit kejadian di Pakistan, di mana negara melarang sebuah partai politik. Keputusan ini bisa menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan," katanya.
Hammad Azhar, seorang pejabat PTI, mengatakan kepada DW bahwa larangan akan meningkatkan ketidakstabilan politik di Pakistan.
"Pemerintah menekan keinginan masyarakat, yang pada zaman ini tidak akan pernah berhasil. Ini adalah pedoman lama. Larangan akan menyebabkan lebih banyak ketidakstabilan dan masyarakat Pakistan memahami bahwa aspirasi mereka sedang ditekan," katanya.
PTI akan tetap populer di kalangan pemilih
Madiha Afzal, peneliti di Brookings Institution, mengatakan kepada DW bahwa upaya pelarangan PTI akan semakin melemahkan legitimasi pemerintah di mata banyak pemilih dan hanya akan meningkatkan popularitas PTI.
"Kebijakan ini mungkin akan menjadi kontraproduktif,” kata Afzal. Dia menambahkan, belum jelas apakah langkah pelarangan PTI akan berhasil.
"Proses ini akan dibawa ke pengadilan, dan akan mengintensifkan perselisihan antara lembaga peradilan dan militer yang sudah berlangsung,” katanya.
Pada hari Jumat lalu (12/07), Mahkamah Agung memutuskan bahwa PTI memenuhi syarat untuk mendapatkan lebih dari 20 kursi tambahan di Parlemen sehingga menambah tekanan pada pemerintahan Perdana Menteri Sharif.
Afzal mengatakan, upaya pemerintah untuk melarang PTI adalah tindakan yang "putus asa, anti-demokrasi, dan destruktif.”
"Hal ini menyusul keputusan Mahkamah Agung yang mengembalikan status PTI menjadi sebuah partai, yang menjadikannya sebagai satu-satunya partai terbesar di parlemen,” katanya.
"Saya pikir semua pihak perlu berunding dan mengakhiri politik balas dendam dan perundungan, namun hal ini tidak mungkin terjadi. Fokusnya harus pada pemilu dan parlemen, dan menghormati mandat pemilih. Namun, saat ini pendekatan yang dipakai merupakan pendekatan otoriter, yang justru bertentangan dengan demokrasi,” katanya.
Tidak ada tanda rekonsiliasi
Analis politik Hussain meyakini, pemerintah berniat menahan Khan di penjara untuk waktu yang lama dan bahkan "menerapkan situasi darurat nasional."
"Rekonsiliasi sudah lama diperlukan untuk memperbaiki lanskap politik negara ini, tetapi hal ini tidak mungkin terjadi dalam situasi seperti ini, dan PTI tidak bisa duduk bersama pemerintah untuk melakukan rekonsiliasi,” katanya.
Azhar dari PTI mengatakan rekonsiliasi politik tidak mungkin dilakukan di bawah pemerintahan saat ini, yang legitimasinya dia yakini "bertumpu pada mandat yang dibuat-buat dan dipalsukan.”
"Kami merasa tidak ada kompromi bahkan pada satu suara pun yang telah diberikan oleh rakyat Pakistan,” katanya.
"Kami semua terbuka untuk melakukan pembicaraan, sejauh menyangkut pendirian, namun tetap dalam parameter demokrasi, konstitusi, dan supremasi hukum,” tambahnya.
(rzn/hp)