Kenapa Orang Eropa Lebih Suka Bekerja Paruh Waktu?
14 Februari 2024Buat Martin Stolze, 47, seorang guru sekolah menengah atas di barat daya Jerman, waktu pribadi lebih berharga dari uang. "Ada pepatah yang mengatakan, bekerjalah untuk hidup, jangan hidup untuk bekerja," kata dia. "Saya kira, hal itu adalah moto zaman kita sekarang ini."
"Anda hanya bekerja untuk mencukupi kebutuhan pokok, sehingga Anda bisa mengabdikan diri kepada hal-hal yang lebih berharga," imbuhnya. "Saya sebelumnya tidak begini."
Stolze mengurangi jam kerjanya sebanyak 50 persen. Status paruh waktu memungkinkan dia mengurus orang tuanya ýang telah lanjut usia dan lebih memudahkan mengatasi stres pada jam sekolah. "Saya sadar masih ada potensi untuk mengurangi lebih banyak jam kerja, tapi saya yakin kolega saya di sekolah punya alasan yang sangat kuat untuk tidak beradaptasi dengan kerangka kerja seperti ini."
Tren kerja paruh waktu
Kisah Stolze mencerminkan tren yang sedang populer di kalangan kelas pekerja Eropa. Di Jerman misalnya, meski mencatatkan tambahan tujuh juta tenaga kerja baru antara 2005 hingga 2022, jumlah jam kerja secara keseluruhan tidak banyak bertambah.
Rata-rata, tenaga kerja di Jerman bekerja kurang dari 1.350 jam per tahun di 2022, yang terendah dibandingkan negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan, OECD.
Saat ini, lebih dari sepertiga tenaga kerja di Jerman, Austria dan Swiss bekerja paruh waktu. Di Belanda, hampir separuh angkatan kerja mencatatkan maksimal 35 jam kerja per pekan. Sementara di Amerika Serikat, sebagai perbandingan, kurang dari seperlima bekerja paruh waktu atau kurang dari 35 jam per minggu.
"Ini adalah contoh masyarakat yang makmur," kata Clemens Fuest, Direktur Ifo Institute for Economic Research di Jerman, ketika "semakin sedikit orang bekerja dan semakin banyak waktu luang."
Disrupsi ekonomi?
Fuest juga mewanti-wanti terhadap efek samping berupa kelangkaan tenaga kerja dalam jangka menengah. "Kontraksi besarnya belum muncul," kata dia.
Pasalnya, tren kerja paruh waktu bisa melumpuhkan sektor yang saat ini pun sudah mengalami kelangkaan pekerja, seperti layanan kesehatan atau pendidikan. Jika pegawai mengurangi jam kerja, perusahaan acap kesulitan menemukan pengganti yang memadai karena sengitnya persaingan di pasar tenaga kerja.
Fenomena ini dihadapi Maartje Lak-Korsten, kepala sekolah menengah atas di Amsterdam, Belanda. Dia mengaku menerima banyak permohonan kerja dengan syarat empat hari kerja per minggu.
"Saya selalu mulai wawancara dengan bertanya, kenapa mereka ingin bekerja hanya empat hari sepekan, apa yang mereka butuhkan untuk bisa bekerja penuh?" kata dia.
Di Belanda, tren paruh waktu muncul dalam bentuk "gaji satu setengah," di mana salah seorang pasangan dalam sebuah rumah tangga hanya bekerja paruh waktu. "Fenomena ini belakangan kian populer," kata Bastiaan Starink, seorang ekonom di Universitas Tilburg.
"Mungkin adalah sebuah kemewahan bahwa kami di Belanda tidak perlu bekerja penuh," kata dia.
Tambahan jam kerja
Demi memastikan kelangsungan ekonomi, pemerintah dan swasta kini berusaha mencari cara merangsang tenaga kerja agar menambah jam kerja. Di negara bagian Baden-Württemberg, Jerman, misalnya, mewajibkan guru memberikan alasan valid untuk bisa memangkas jam kerja kurang dari 75 persen.
Pemerintah lain mencoba cara yang lebih lunak. Pemerintah Belanda berniat memperluas subsidi anak, meski tanggal mainnya ditunda hingga tahun 2027.
Kendala juga ditemui pemerintah Austria, ketika harus membatalkan ide mengurangi pajak penghasilan setelah diprotes oposisi karena akan memotong anggaran sosial.
Pemerintah Jerman sebaliknya menunda reformasi sistem perpajakan yang tadinya digagas untuk mengakomodasi kepentingan pekerja paruh waktu. Berlin kini dikabarkan sedang mempertimbangkan kewajiban bagi korporasi untuk mengizinkan pegawainya bekerja dari rumah.
rzn/as