Kenapa Qatar dan Uni Emirat Arab Ingin Berdamai?
23 Juni 2023Kesepakatan damai pertama kali diumumkan kantor berita WAM awal pekan kemarin. "Uni Emirat Arab dan Qatar mengumumkan telah membuka kembali hubungan diplomasi antarnegara,” tulis media corong UEA tersebut.
Dengan langkah tersebut, ragam boikot dan blokade, yang sejak 2017 membebani hubungan kedua negara, kini hanya tinggal sejarah. Embargo yang dijatuhkan UEA bersama Arab Saudi, Bahrain dan Mesir itu resminya berakhir 2021 silam.
Sejak itu, kedua negara perlahan kembali mendekat, antara lain selama Piala Dunia 2022, ketika Doha mengundang pemimpin ketiga negara pemboikot sebagai tamu kehormatan. Puncaknya adalah pertukaran duta besar pada pekan ini, yang sekaligus membuka kembali layanan konsuler antarnegara.
Pulihnya relasi Qatar dan UEA berlangsung di tengah fase damai di kawasan Teluk yang ditandai oleh meredanya ketegangan yang meruyak sejak beberapa dekade terakhir.
Duri berupa Ikhwanul Muslimin
Perkembangan itu mustahil tanpa didahului pemulihan hubungan antara Arab Saudi dan Iran. Kedua negara resmi mengakhiri perang proksi dan spionase di Timur Tengah pada Maret lalu atas mediasi Cina. Sejak itu, Teheran dan Riyadh sudah kembali membuka kedutaan masing-masing.
Namun menurut Cinzia Bianco, analis Timur Tengah untuk Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa, UEA tidak sekedar membeo Saudi ketika berdamai dengan Qatar, tapi juga mengedepankan kepentingan sendiri.
Bagi Dubai dan Abu Dhabi, suaka yang diberikan Qatar kepada pemimpin organisasi Ikhwanul Muslimin dianggap sebagai isu keamanan nasional, seperti yang ditulis lembaga wadah pemikir AS, The Washington Institute, dalam sebuah laporan analisa.
"Masalah Qatar dengan Mesir, UEA dan Arab Saudi pada dasarnya adalah dukungan Doha bagi Ikhwanul Muslimin dan sejumlah tokoh organisasi.” Tapi menurut Cinzia Bianco, Doha sudah mengubah kebijakannya sejak 2021 lalu. "Qatar pada dasarnya menjatuhkan Ikhwanul Muslimin, kata dia.
Bibit konflik juga seputar Hamas
Namun Ikhwanul Muslimin bukan satu-satunya organisasi militan Islam yang membebani hubungan antara Qatar dan jirannya. Hamas, yang punya kantor perwakilan di Doha, hingga kini masih menerima bantuan dari Qatar, tulis lembaga wadah pemikir Jerman, SWP, akhir tahun lalu
Bagi UEA, Hamas dianggap bersandar kepada Ikhwanul Muslimin dan termasuk yang menolak perdamaian antara UEA dan Israel. Namun Doha bersikeras, pihaknya hanya terlibat dalam isu kemanusiaan di Jalur Gaza.
Walau begitu, Israel sebaliknya menerima Doha sebagai mediator yang mampu mempengaruhi Hamas dan menjamin kucuran dana bantuan ke Jalur Gaza. "Tapi hal itu tetap tidak mengubah sikap kritis Qatar terhadap Israel dan menolak pengakuan diplomatik bagi negeri Yahudi itu,” tulis SWP dalam laporan analisanya.
Betapa Qatar bersedia berkorban demi kepentingan geopolitik, dibuktikan pada "sikap diam" kantor berita Al Jazeera terhadap pelanggaran HAM di Teluk.
"Haluan editorial Al Jazeera telah bergeser," lapor Washington Institute. "Stasiun televisi itu kini menghindari isu-isu tertentu yang dulu diliput, seperti kritik terhadap pelanggaran HAM di Arab Saudi atau kebijakan luar negeri UEA, yang oleh Al Jazeera sering digambarkan sebagai aksi sabotase.
Maret silam, UEA kembali mengizinkan siaran Al Jazeera setelah absen selama tujuh tahun. "Ongkos yang harus dibayar perdamaian itu, adalah berkurangnya keragaman pendapat di media-media regional", pungkas analis Timur Tengah Cinzia Bianco.
rzn/as