Gus Dur merupakan figur sentral di NU sebagaimana Megawati merupakan figur sentral di PDIP. SBY merupakan jenderal TNI. Namun, Jokowi? Jokowi adalah pengusaha kayu yang, bahkan menurut biografernya Ben Bland, awam dengan politik di awal-awal karier politiknya.
Apa yang menyebabkan anomali ini? Kemunculan Jokowi berbarengan dengan kian diadopsinya berita daring dan media sosial. Modal awal Jokowi adalah kiprahnya sebagai wali kota Solo memindahkan pedagang pasar dan sosoknya yang tak berbeda dengan rakyat biasa. Modal ini tak akan menjadi apa-apa bila belum ada berita daring dan media sosial.
Tanyakan kepada para wartawan yang meliput Jokowi ketika mencalonkan diri sebagai dan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Berita-berita daring tentangnya senantiasa laris dibagikan di media sosial dan dikonsumsi oleh publik. Ujungnya, percakapan tentang Jokowi tak habis-habis di ruang internet. Publik dibanjiri informasi tentang sosok ini. Media, mau dia berafiliasi dengan oposisi politik Jokowi sekalipun, harus mengangkat Jokowi bila tetap mau didatangi oleh pembaca.
Dan di media sosial? Elu-elu terhadap Jokowi tak habis-habis diunggah di linimasa media sosial bila Anda ingat, dari unggahan yang memuji bagaimana ia merupakan pekerja keras hingga yang mengagumi bagaimana ia selalu berada bersama rakyat kecil lewat blusukannya.
Ketika Jokowi memenangkan Pilpres 2014, masyarakat berarak-arakan di jalan merayakan kemenangannya. Banyak yang bersujud syukur secara spontan. Unggahan-unggahan di media sosial mengekspresikan euforia atas kemenangan Jokowi.
Simpul Dukungan Populer
Pada periode pertama kepresidenan Jokowi, ada kontradiksi yang mencolok di antara dukungan terhadapnya di ranah politik dan media sosial. Selagi di parlemen Jokowi kesulitan mendapatkan dukungan untuk kebijakan-kebijakannya, pengguna media sosial beramai-ramai senantiasa membelanya.
Pidato berbahasa Inggris Jokowi di forum APEC dipuja-puji terlepas ia terbata-bata dalam menyampaikannya. Orang-orang memuji Presiden berhasil menyampaikan maksudnya dengan mulus. Pihak-pihak yang mengkritik kebijakan Jokowi dihadang oleh para pembelanya di media sosial. Di sisi lain, Jokowi harus melakukan berbagai akrobat politik karena partai pengusungnya tidak membelanya. Ia harus mengecer jabatan dan peluang kepada partai-partai yang berpotensi mendukung kebijakannya dan menjaganya dari pelengseran.
Nampaknya sadar dengan perlunya mendapatkan bekingan dalam bentuk apa pun, istana pun secara proaktif memelihara para pendukung Jokowi di media sosial. Buktinya? Orang-orang yang memiliki pengaruh di media sosial dan berkiblat kepadanya, bila Anda ingat, acap diundang ke istana. Mereka tentu saja bukan cuma ngopi di istana.
Bila satu orang sangat berpengaruh di dunia maya, bukan tak mungkin Jokowi akan menunjukkan gesture personal yang lebih akrab. Contohnya, menghadiri pernikahan individu bersangkutan. Walhasil, bila Anda ingat, banyak orang-orang berpengaruh di media sosial yang merupakan pembela totok Presiden Jokowi, seakan mereka memiliki hubungan pribadi dengannya.
Memelihara Pendengung?
Dan tak lupa, ada pendengung (buzzer) di sisi kekuasaan.
Tentu saja, kita tidak akan mendapatkan pengakuan apa pun dari istana terkait apa hubungan mereka dengan para pendengung politik seperti Denny Siregar atau Ade Armando. Namun, merupakan suatu rahasia publik bahwa para pendengung ini dipelihara oleh lingkaran dekat kekuasaan, apalagi faktanya mereka acap membagikan informasi yang hanya dimiliki instansi kekuasaan.
Apakah tindakan ini salah? Di satu sisi, Presiden memerlukan mereka yang dapat bergerilya mengalang dukungan untuknya. Kita dapat memahaminya secara politik lantaran Jokowi tak pernah mendapatkan dukungan politik yang tulus dan kokoh. Urusan-urusannya dengan para bekingan politiknya senantiasa transaksional.
Namun, Secara etis, ia sangat mudah dipermasalahkan. Ia mendelegitimasi segala bentuk kritik terhadap kepemimpinan Jokowi dengan fitnah-fitnah. Para pendengung menuduh baik itu unjuk rasa ibu-ibu Kendeng hingga unjuk rasa terhadap UU Cipta Kerja ditunggangi oleh lawan politik dan bermotif pragmatis.
Para pendengung mementahkan kritik dengan misinformasi. Bentuk respons terhadap kritik yang demikian tak ada bedanya dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah rezim otoriter. Orde Baru, kita tahu, acap menghantam balik kritik dengan membingkainya sebagai ancaman komunisme atau liberalisme.
Jokowi diantarkan ke kursinya sebagai orang nomor satu di Indonesia oleh dukungan populer di ranah digital. Beberapa tahun kepresidenannya berjalan, kita kini sadar bahwa popularitas semacam ini tak sepenuhnya baik untuk demokrasi.
@gegerriy
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.