Kesepakatan antara Fatah dan Hamas
28 April 2011Harian Perancis Paris Normandie dari Rouen di Perancis utara mengomentari kesepakatan Hamas dan Fatah:
"Kemarin kesepakatan antara gerakan Fatah di bawah Mahmud Abbas, yang berkuasa di Tepi Barat Yordan, dan Hamas yang menguasai Jalur Gaza, diberitakan dari Kairo. Kedua gerakan itu sudah bersengketa sejak 2007. Kini kedua partai yang bermusuhan itu akan mendirikan pemerintah transisi bersama, yang bertugas mengorganisir pemilu parlemen dan presiden Palestina. Jika informasi itu benar, jika harapan kita kali ini tidak mengecewakan, maka sebuah langkah menentukan dan bersejarah telah diambil. Karena kedua pemilu dapat menyelesaikan situasi buruk yang tidak berkesudahan. Kemungkinan adanya pengakuan internasional bagi sebuah negara Palestina harus menggerakkan Israel untuk kembali ke meja perundingan secepat mungkin."
Harian Perancis lainnya, La Presse de la Manche memberikan komentar senada:
"Orang bermimpi bahwa pertemuan bersejarah itu mendatangkan hasil. Orang berharap, bahwa warga Palestina dan Israel akhirnya menyadari bahwa waktunya sudah tiba, untuk mengambilalih tanggungjawab bagi perdamaian dan saling mengakui kehormatan. Perdamaian, yang sebenarnya bisa tercapai, sudah gagal pertama kali, karena Yasser Arafat yang dulu menjadi presiden Palestina mengambil langkah berlebihan. Karena Israel terus bermukim di daerah pendudukan, maka pihak berwenang Israel menyebabkan kegagalan berikutnya. Jadi setiap pihak tidak menggunakan kesempatan. Sekarang yang penting adalah, meredam kekerasan antara dua gerakan Palesina, Hamas dan Fatah. Kemudian, lewat pengakuan bagi sebuah negara Palestina, membangun hubungan baru untuk menciptakan perdamaian."
Tema lainnya yang disoroti harian-harian Eropa adalah diskusi terakhir menyangkut kesepakatan Schengen.
Harian konservatif Denmark Berlingske Tidende mengomentari upaya Perancis dan Italia, untuk menghentikan berlakunya perjanjian itu, yang memungkinkan orang bepergian di Uni Eropa, akibat datangnya imigran ilegal dari Afrika Utara.
"Ada prinsip-prinsip yang sebaiknya tidak disentuh. Kebebasan bergerak di wilayah Uni Eropa termasuk dalam kategori ini. Tanpa prinsip itu, kesepakatan Schengen yang ditandatangani 22 negara, termasuk Islandia, Norwegia dan Swiss, gagal sepenuhnya. Dan tidak hanya itu, sebuah prinsip mendasar di Uni Eropa akan diabaikan sama sekali. Tantangan aktual akibat imigran ilegal harus ditanggapi sebagai masalah kongkret, yang berdampak bagi seluruh Uni Eropa. Itu harus diselesaikan dalam lingkup peraturan Eropa. Orang sepatutnya setuju dengan PM Italia Silvio Berlusconi, bahwa di dalam Uni Eropa harus lebih banyak solidaritas dalam pemberian reaksi atas masalah-masalah kongkret."
Harian Perancis Le Monde juga mengomentari sengketa antara Italia dan Perancis menyangkut pendatang dari Afrika Utara.
"Di bawah tekanan Partai Lega Nord yang anti orang asing, tetapi dibutuhkan Silvio Berlusconi bagi koalisi pemerintahannya, perdana menteri Italia itu berhasil menyingkirkan masalah pengungsi. Ia telah memutuskan untuk memberikan ijin tinggal enam bulan bagi para pengungsi Tunisia, yang membuka kesempatan bagi mereka untuk mengadakan perjalanan di seluruh Uni Eropa. Di bawah tekanan Partai Fron Nasional yang anti pendatang, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy di tahun pemilu ini memberikan reaksi berupa ancaman, bahwa penghapusan perbatasan negara di dalam wilayah Uni Eropa akan ditinjau kembali. Yang dimaksud adalah kesepakatan Schengen dari tahun 1985. Kedua politisi memutuskan Selasa lalu (26/04) akan meminta komisi Uni Eropa untuk meninjau masalah itu. Mereka terutama menginginkan dana untuk melaksanakan pengawasan batas-batas luar wilayah Schengen. Di masa ketika kesulitan-kesulitan tertentu timbul mereka juga ingin mampu membentuk pengawasan perbatasan antar negara. Tetapi dalam hal ini, urusan jumlah pengungsi adalah sesuatu yang tidak pantas dipersengketakan. Karena masalah ini menyangkut hidup 20.000 orang."
Marjory Linardy/afp/dpa
Editor: Hendra Pasuhuk