Konflik di Nigeria Dimanfaatkan Penguasa
9 Maret 2010Genosida di Nigeria yang dilatar belakangi konflik etnis dan religius menjadi tema komentar dalam tajuk harian internasional.
Harian konservatif Inggris The Times yang terbit di London dalam tajuknya berkomentar : Pembantaian bermotif agama bukan hal yang baru di Nigeria. Terlalu naif jika mengatakan, antara politisi Nigeria dan kelompok kepentingan yang gampang mencabut goloknya terdapat hubungan erat. Samasekali tidak ada. Pimpinan politik di Nigeria berulangkali dan secara sistematis menunggangi konflik antar suku itu. Karena itu, mereka tidak mampu mencapai konsensus politik di negaranya. Dampaknya adalah krisis konstitusi di satu sisi. Dan di sisi lainnya krisis humaniter dan kemasyarakatan yang lebih mengerikan.
Harian Jerman Stuttgarter Zeitung yang terbit di Stuttgart berkomentar : Goodluck Jonatahan pejabat pengganti presiden Umaru Yar'Adua yang sakit keras, memerlukan legitimasi resmi. Alternatifnya adalah pemilu baru. Juga pelaku pembantaian harus diseret ke pengadilan. Jika gagal menciptakan stabilisasi situasi, muncul ancaman negara itu akan terjerumus ke dalam kekacauan dengan dampak negatifnya bagi seluruh kawasan. Tapi, dunia kelihatannya baru akan mengalihkan perhatiannya ke Nigeria, jika krisis bermuara pada munculnya rezim diktatur atau pada naiknya harga minyak.
Harian Perancis La Croix yang terbit di Paris berkomentar : Walaupun Nigeria memiliki cadangan minyak amat besar, tapi sebagian besar rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Pemerintah semakin lemah. Presiden Umaru Yar'Adua sakit keras dan sejak berbulan-bulan tidak kelihatan sosoknya. Vakum kekuasaan ini memicu krisis institusional dan mendorong kerakusan kekuasaan. Ketidak stabilan dan ketidak amanan di sebuah negara yang gampang meledak seperti Nigeria sangat berbahaya.
Tema lainnya yang disoroti harian internasional adalah pemilu di Irak. Sukses proses demokratisasi di Irak itu amatlah rapuh. Harian Belanda De Volkskrant yang terbit di Amsterdam berkomentar : Perhitungan menunjukan, tidak akan ada fraksi yang mampu meraih suara mayoritas, untuk dapat mendominasi pemerintahan baru. Karenanya, dari para politisi Irak harus dituntut lebih banyak kesiapan untuk melakukan kompromi. Di negara-negara yang demokrasinya sudah mantap sekalipun, hal semacam itu amat jarang bisa terwujud. Apalagi di sebuah negara semacam Irak, yang menanggung beban berat warisan dari aksi kekerasan dan penindasan.
Terakhir harian Swiss Neue Zürcher Zeitung yang terbit di Zürich berkomentar : Apakah benar warga Irak sendiri yang menentukan haluan negaranya? Dalam tujuh tahun terakhir ini warga Irak semakin menyadari, telah dijadikan bola permainan kepentingan asing. Selain AS dan koalisinya, juga negara tetangganya Iran, Turki dan Suriah menjalankan politik kepentingannya, dengan dampak yang menyakitkan. Adu pengaruh semacam itu, menghidupkan kembali reflex yang dikira telah lama mati. Di Irak dalam bulan-bulan terakhir ini, semakin terasa kebangkitan faham pan-Arabisme. Pengumuman hasil pemilu dalam beberapa hari mendatang akan menunjukkan, seberapa jauh faham tsb sudah merasuki warga Irak.
AS/AR/dpa/afpd