Kopi Kini Menjadi Barang Mewah?
22 Mei 2024Kopi merupakan minuman hangat yang paling sering dikonsumsi di Jerman. Namun tanpa kebun di dalam negeri, kopi harus diimpor dan sebabnya berpasrah pada fluktuasi harga global.
Saat ini, harga kopi di pasar global kembali melonjak lantaran tingginya harga energi, menurut importir kopi terbesar Jerman, Tchibo. Akibatnya awal Mei lalu, perusahaan asal Hamburg itu mengumumkan, terpaksa melakukan "penyesuaian" terhadap harga beragam produknya.
"Tahun lalu, ongkos produksi kembali meningkat, juga untuk biji kopi. Untuk menjamin kualitas terbaik bagi konsumen kami, maka kami pun harus bertindak."
Kenaikan harga kopi juga dikeluhkan Gepa, importir terbesar Eropa untuk produk pertanian berkelanjutan, menurut laporan kantor berita Jerman, epd. "Saat ini kami berada dalam situasi ekonomi yang sulit," kata direktur Gepa Matthias Kroth.
Gepa mengeluhkan anjloknya omset akibat lemahnya daya beli masyarakat yang didorong kenaikan inflasi. Termasuk invasi Rusia di Ukraina ikut mencuatkan harga komoditas kopi atau cokelat. Penyebab lain adalah wabah penyakit tanaman di kebun monokultur, krisis iklim, kekeringan dan bencana banjir.
Menurut Andrea Fütterer, salah seorang petinggi Gepa, fluktuasi harga pasar memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha Eropa.
Kekhawatiran di selatan
Ketakutan serupa ikut dirasakan petani dan penyalur kopi di belahan selatan. Kelompok advokasi Fairtrade International mengatakan kepada DW bahwa kondisi cuaca buruk, terutama di Asia Tenggara dan Amerika Selatan, telah menyebabkan kenaikan harga.
Maraknya gagal panen dikhawatirkan akan menciptakan kemacetan pasokan, menurut Fairtrade. "Hal ini memperburuk keseimbangan pasokan dan permintaan yang sudah rapuh. Kekeringan yang berkepanjangan di Vietnam, produsen utama biji Robusta, telah merusak hasil panen. Sebaliknya, Brasil, sumber utama biji Arabika, dilanda hujan lebat yang mempengaruhi hasil panen."
"Ketidakpastian iklim, gangguan terhadap jalur perdagangan internasional dan sifat spekulatif dari banyak portofolio investasi telah menciptakan badai besar di pasar kopi," tulis lembaga yang bermarkas di Bonn, Jerman.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Keuntungan Brasil
Carsten Fritsch, analis bank Jerman Commerzbank juga mencatat bagaimana krisis geopolitik dan konflik bersenjata yang berkobar di seluruh dunia mulai membayangi pasar komoditas. Fritsch bertugas memantau pergerakan harga "komoditas lunak”, termasuk makanan.
"Berbeda dengan Robusta, Arabika hampir tidak terpengaruh oleh hambatan karena komoditas ini tidak diangkut melalui Laut Merah, karena produsen besar Arabika yakni Brasil tidak memerlukan jalur transportasi ini. Situasinya berbeda dengan kopi Robusta yang mayoritas diproduksi di Asia Tenggara," kata dia kepada DW, merujuk pada jalur perdagangan menuju Eropa.
"Namun, kenaikan harga yang signifikan dan kelangkaan Robusta dapat meningkatkan permintaan terhadap kopi Arabika," tambahnya, merujuk pada keuntungan yang didapat Brasil, negara asal 80 persen kopi Arabika di pasar dunia.
"Untuk tahun panen 2024/25,” kata Fritsch, "ada kemungkinan jumlah panen kopi yang lebih tinggi di Brasil. Dalam perkiraan bulan Januari, otoritas di Brasil memperkirakan peningkatan sebesar 5,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya menjadi 58,1 juta karung kopi berukuran 60 Kilogram."
Prospek muram
Namun begitu, prospek positif dari Brasil gagal mengusir kekhawatiran pelaku usaha di Jerman. Steffen Schwarz, yang mengoperasikan pabrik pemanggangan kopi, meyakini harga kopi akan terus meningkat karena didorong faktor lain.
Menurutnya, mulai langkanya buruh perkebunan dan meningkatnya konsumsi kopi di negara-negara produsen akan ikut mendorong kelangkaan kopi. "Jadi kita menyaksikan hasil panen yang lebih rendah, kekurangan pekerja dan pada saat yang sama meningkatnya permintaan," kata Schwarz kepada majalah Jerman Der Spiegel.
Meningkatnya permintaan juga disebabkan oleh "tren modis” di balik perilaku konsumsi kopi di Eropa dan Amerika Utara. Namun faktor terbesar adalah meningkatnya konsumsi di negara-negara yang tradisinya membudidayakan minuman teh selama ribuan tahun. Di Korea Selatan dan Cina, misalnya, permintaan terhadap biji kopi meningkat drastis.
"Konsumen kini harus mulai membiasakan diri dengan tingginya harga kopi," kata Steffen Schwarz. "Kopi seharusnya berharga 25 hingga 30 euro per kilo di Eropa, katanya kepada Der Spiegel, "Saya setidaknya harus bersedia membayar jika saya ingin cita rasa terbaik dan jika aspek ekologi dan sosial penting bagi saya."
rzn/as