Korupsi Budaya Indonesia?
4 November 2011Hari ini, 66 tahun setelah merdeka, kebiasaan itu belum hilang. Survey Transparency International terbaru, menempatkan pengusaha asal Indonesia sebagai salah satu yang paling gemar menyogok ketika berbisnis di luar negeri. Berdasarkan Bribery Payers Index atau Indeks Pembayar Suap di 28 negara, Indonesia menempati urutan ke-empat. Kita hanya kalah dari Rusia yang menempati urutan paling atas dalam perkara sogok-menyogok, disusul Cina dan Meksiko.
Kita tahu, kebiasaan menyogok itu dibawa oleh para pengusaha kita dari tanah air. Di Indonesia mereka terpaksa dan terbiasa membayar invisible cost. Tidak menyogok artinya tidak mendapat ijin usaha atau proyek: bisnis bisa mati.
Korupsi memang dekat dengan kita. Lihat saja, kita punya begitu banyak istilah: uang pelicin, uang rokok, uang transport, setoran, jabatan basah, salam tempel, cara damai, amplop yang kesemuanya adalah eufimisme dari perilaku korup yang biasa dilakukan sehari-hari.
Korupsi tidak hadir dari sebuah ruang hampa. Ia tumbuh subur karena puluhan tahun kita tidak punya sistem untuk mengontrol penyelenggara negara. Korupsi hari ini adalah warisan buruk otoritarianisme yang belum tuntas kita selesaikan.
Kini kita punya kebebasan dan demokrasi. Kebebasan membuka ruang bagi pers dan publik untuk mengontrol pejabat negara. Kita juga punya Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, yang dengan segala keterbatasannya, bisa kita harapkan untuk menegakkan hukum dan menangkap para koruptor. Sementara demokrasi memungkinkan kita memilih pemimpin yang baik, dan menghukum penyelenggara negara yang gagal memberantas korupsi, dengan tidak memilihnya kembali lewat mekanisme pemilihan umum.
Reformasi, adalah peluang untuk memberantas korupsi. Agar kelak, kita tak harus lagi mengutip Bung Hatta yang mengatakan "korupsi sudah menjadi budaya kita".
Andy Budiman Editor: Agus Setiawan