Krisis Ekonomi, Jutaan Warga Myanmar Hidup dalam Kesusahan
29 Mei 2021Aye Mar duduk bersama tujuh anaknya di rumahnya di Rangoon, Myanmar. Dia khawatir makanan yang telah dibeli tidak cukup menghilangkan rasa lapar mereka.
"Kami harus memberi makan anak-anak agar mereka tidak kelaparan," kata Aye Mar.
Ekonomi dan sistem perbankan nasional telah lumpuh sejak militer merebut kekuasaan dan melengserkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada Februari 2021.
Keluar rumah dan mencari nafkah juga tidak mudah dilakukan karena warga dibayangi ketakutan akan tindakan kekerasan oleh aparat militer. Bahkan hingga saat ini, krisis di Myanmar telah menewaskan lebih dari 800 warga sipil.
Hidup jadi lebih sulit
PBB memperingatkan, jutaan warga Myanmar terancam kelaparan dalam beberapa bulan mendatang.
Penjual makanan bernama Wah Wah mengatakan kenaikan harga sejak kudeta membuat banyak pelanggannya tidak lagi mampu membeli semangkuk ikan kering. "Saya tidak bisa menjualnya karena pelanggan tidak mampu membelinya ... bahkan jika saya menjualnya dengan harga 500 kyat (Rp 4.700) per mangkuk," kata Wah Wah kepada AFP.
"Setiap orang harus mengeluarkan uang dengan hati-hati, karena tidak ada yang punya pekerjaan. Kami hidup dalam ketakutan karena tidak tahu apa yang akan terjadi," tambahnya.
"Kami dalam masalah"
Ayah tiga anak, Win Naing Tun, mengatakan mereka yang sebelumnya mampu makan daging babi secara rutin terpaksa beralih ke produk ikan. Kemudian mereka yang biasa makan ikan dan sayuran, "sekarang hanya bisa makan nasi putih pakai garam," ujar Win Naing Tun.
Krisis ekonomi menghantam keras kehidupan warga di daerah terpencil. Seperti di negara bagian Kachin, harga beras saat ini lebih mahal hampir 50%. Biaya pengangkutan produk pertanian ke kota-kota juga melonjak karena harga bahan bakar yang naik 30% sejak kudeta.
Program Pangan Dunia PBB (WFP) memperkirakan bahwa dalam enam bulan ke depan, sebanyak lebih dari 3,4 juta orang terancam kelaparan di Myanmar. Pihaknya bersiap untuk melipatgandakan bantuan makanan darurat untuk rakyat Myanmar.
Program donasi makanan masyarakat akar rumput terbukti sangat diminati di Rangoon, ibu kota komersial Myanmar. "Mereka senang saat kami menyumbangkan makanan. Beberapa bahkan menangis," kata sukarelawan May, bukan nama sebenarnya.
Salah seorang warga lainnya, Ni Aye, mengatakan dia dan suaminya sekarang tidak punya penghasilan sama sekali dan bergantung pada makanan program donasi. "Kami dalam masalah ... Jika kondisi ini terus berlanjut, kami akan kelaparan," kata Ni Aye.
Lain halnya dengan Aung Kyaw Moe, yang sedang mempertimbangkan untuk kembali ke desa asalnya setelah pabrik di Rangoon tempat dia bekerja ditutup. Moe mengatakan bahwa dia tidak memiliki simpanan uang dan putus asa dalam menghidupi sembilan anggota keluarganya. "Semuanya di luar kendali kami."
ha/ae (AFP)