Kritik Keras Mahfud untuk Veronica Koman
12 Februari 2020Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD kembali lontarkan kritik tajam terhadap pengacara HAM Veronica Koman. Mahfud menyebut Koman sebagai seseorang yang anti-Indonesia.
Kritik tersebut ia sampaikan saat merespon pertanyaan media yang meminta klarifikasi terkait pernyataannya yang menganggap dokumen dari tim Veronica Koman yang diserahkan ke Presiden Joko Widodo di Canberra, Australia pada Senin (10/02), “hanya sampah”.
Mahfud kembali mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo menerima banyak surat setiap harinya, sehingga tidak ada yang diistimewakan.
“Veronica Koman itu adalah seorang yang selalu menjelek-jelekkan Indonesia dan anti Indonesia dia, selalu Papua oleh sebab itu kalau cuma orang nyerahkan surat kayak gitu itu ya setiap hari banyak orang menyerahkan surat, kok dia mau diistimewakan gitu,” ujarnya kepada para wartawan istana usai menghadiri rapat terbatas di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (12/02).
Tidak hanya disebut sebagai seseorang yang anti-Indonesia, Mahfud juga mengatakan bahwa Veronica adalah seorang pengingkar janji terhadap pemerintah Indonesia. Menurut Mahfud, Veronica secara hukum memiliki hutang kepada Indonesia lewat beasiswa sekolah yang ia terima.
“Veronica Koman itu adalah seorang pengingkar janji terhadap pemerintah Indonesia karena dia bersekolah mendapatkan beasiswa dari Indonesia dan tidak kembali ke Indonesia artinya dia secara hukum dia punya hutang kepada Indonesia meskipun hanya bentuknya beasiswa karena dia punya kontrak disini”, kata Mahfud.
Presiden diminta tarik pasukan dari Nduga
Sebelumnya lewat pernyataan tertulis pada Senin (10/02) di akun twitternya, Veronica Koman mengatakan bahwa timnya telah berhasil menyerahkan dokumen yang berisi data tahanan politik dan korban tewas Papua kepada Presiden Joko Widodo yang saat itu tengah melakukan kunjungan kerja ke Canberra, Australia.
Mereka mendesak supaya krisis politik dan kemanusiaan di Papua segera dihentikan.
Menurut Veronica, dokumen itu memuat nama dan lokasi 57 tahanan politik Papua yang dikenakan pasal makar, yang saat ini sedang ditahan di tujuh kota di Indonesia. Veronica juga menyebut bahwa dokumen tersebut berisi data nama beserta umur dari 243 korban sipil yang telah meninggal selama operasi militer di Nduga sejak Desember 2018, baik karena terbunuh oleh aparat keamanan maupun karena sakit dan kelaparan dalam pengungsian.
“Di awal periode pertamanya pada 2015, Presiden Jokowi membebaskan lima tahanan politik Papua. Masyarakat memandang ini sebagai langkah yang penuh dengan harapan baru bagi Papua. Namun pada awal dari periode keduanya saat ini, terdapat 57 orang yang dikenakan makar yang sedang menunggu sidang. Langkah ini hanya akan memperburuk konflik di Papua”, kata Veronica lewat pers rilis, Senin (10/02).
Veronica juga mengungkapkan bahwa para gubernur, bupati, pimpinan gereja, pimpinan adat, akademik, aktivis dan mahasiswa telah memohon kepada Presiden Jokowi untuk menarik pasukan dari Nduga sejak Desember 2018, tetapi permintaan itu ia sebut tidak pernah diindahkan.
“Sekarang Presiden Jokowi sendiri yang sudah langsung pegang datanya, termasuk nama-nama dari 110 anak-anak dari total 243 sipil yang meninggal, akankah Presiden tetap tidak mengindahkan permintaan tersebut?”, ujar Veronica.
gtp,pkp/vlz (dari berbagai sumber)