Larangan TikTok di AS Picu Kekhawatiran Hak Digital
17 Januari 2025TikTok menghadapi ancaman larangan di Amerika Serikat kecuali perusahaan induknya, ByteDance, menjual operasinya di dalam negeri kepada pembeli asal AS sebelum 19 Januari 2025.
Batas waktu tersebut muncul setelah berbulan-bulan tekanan dari para legislator AS yang berargumen bahwa kepemilikan ByteDance oleh pihak Cina menimbulkan risiko keamanan nasional. Mereka khawatir pemerintah Cina dapat mengakses data pengguna atau memengaruhi konten di platform tersebut. ByteDance membantah tuduhan tersebut.
Di tengah laporan bahwa Presiden terpilih Donald Trump sedang mempertimbangkan rencana untuk menunda larangan ini, para kreator AS mulai mencari alternatif untuk menggantikan platform tersebut.
Namun, advokat hak digital memperingatkan bahwa melarang satu platform seperti ini tidak banyak membantu melindungi pengguna dan justru dapat menjadi bumerang.
“Ini seperti bermain permainan berbahaya yang akhirnya justru membuat pengguna lebih rentan secara online,” kata Natalie Campbell, Direktur Senior Urusan Pemerintah dan Regulasi Amerika Utara di organisasi nonprofit Internet Society.
Risiko keamanan siber
Jika larangan diberlakukan, pengguna baru di AS tidak lagi dapat mengunduh TikTok dari toko aplikasi Apple atau Google. Belum jelas apakah pengguna yang sudah memiliki aplikasi tersebut akan tetap dapat menggunakannya atau harus menggunakan jaringan pribadi virtual (VPN) untuk menyembunyikan alamat IP mereka.
Namun, yang tampaknya pasti adalah mereka akan kehilangan akses ke pembaruan keamanan dan fitur baru, yang secara bertahap akan menurunkan fungsi aplikasi serta membuat pengguna lebih rentan terhadap serangan siber.
“Ada pihak-pihak yang terus mencari cara untuk mengidentifikasi dan mengeksploitasi celah ini,” ujar Campbell.
Pertarungan politik yang rumit
Larangan TikTok mencerminkan dinamika politik di AS yang kompleks. Pada April 2024, undang-undang yang melarang TikTok disahkan dengan dukungan bipartisan. TikTok mengajukan banding, mengklaim larangan tersebut melanggar hak Amandemen Pertama, dan kasus ini dibawa ke Mahkamah Agung.
Selama sidang awal bulan ini, para hakim tampak skeptis terhadap argumen TikTok bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional. Keputusan mereka dapat diumumkan kapan saja.
Trump, yang pada masa jabatan pertamanya mendukung larangan TikTok, kini dilaporkan sedang mempertimbangkan rencana untuk menunda larangan melalui perintah eksekutif. Namun, belum jelas apakah hal tersebut dapat dilakukan secara legal.
Sementara itu, beberapa perusahaan dan grup investor AS dikabarkan berminat untuk mengakuisisi platform tersebut. Salah satu opsi, menurut Bloomberg News, adalah menjual sebagian TikTok ke perusahaan media sosial milik Elon Musk, X. Akuisisi ini berpotensi memberikan Musk kendali atas platform yang lebih besar.
Implikasi global
Jika akuisisi tidak terjadi dan TikTok dilarang, ini akan mencerminkan tren global yang lebih luas terkait pembatasan pemerintah terhadap platform media sosial.
India telah melarang TikTok pada 2020 dengan alasan keamanan nasional. Sejak itu, beberapa negara seperti Yordania, Kirgistan, dan Nepal mengikuti jejak India dengan berbagai alasan, mulai dari kekhawatiran tentang kesehatan mental pengguna hingga tuduhan bahwa platform ini mempromosikan kerusuhan sosial.
Menurut Natalie Campbell, larangan di AS dapat memicu lebih banyak negara menerapkan pembatasan serupa, yang berpotensi menciptakan internet yang semakin terfragmentasi dengan dampak global.
Regulasi lebih baik daripada larangan
Campbell berpendapat bahwa melarang aplikasi tidak menyelesaikan masalah inti, melainkan hanya mendorong pengguna untuk bermigrasi ke layanan lain yang tetap memiliki masalah privasi dan keamanan.
Sebagai langkah antisipasi, banyak pengguna TikTok di AS mulai memperluas kehadiran mereka di platform pesaing seperti Instagram dan YouTube, atau aplikasi asal Cina lainnya seperti RedNote.
“Alih-alih menargetkan satu platform dengan larangan, pemerintah AS sebaiknya fokus pada legislasi privasi yang komprehensif,” ujarnya. “Ini akan memungkinkan kita meminta semua layanan dan aplikasi mematuhi standar yang sama, daripada bermain-main dengan strategi larangan yang berisiko.”
Artikel ini diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris.