Lengsernya Hasina Peluang bagi Demokratisasi di Bangladesh?
4 September 2024Pada tanggal 5 Agustus, Sheikh Hasina mengundurkan diri sebagai perdana menteri Bangladesh setelah gelombang protes berdarah selama berminggu-minggu.
Pemrotes awalnya menolak sistem kuota kontroversial yang menjanjikan lebih dari separuh posisi pegawai negeri untuk kelompok tertentu.
Demonstrasi mahasiswa berubah menjadi gerakan massa yang memaksa Hasina untuk meninggalkan jabatannya dan melarikan diri ke India, mengakhiri masa jabatannya selama 15 tahun. Pemerintah sementara yang dipimpin oleh peraih Nobel Perdamaian Muhammad Yunus, yang mencakup dua pemimpin mahasiswa di posisi senior, sekarang menjalankan administrasi negara.
Menurut Human Rights Watch, ratusan orang tewas dan ribuan lainnya terluka dalam apa yang termasuk tindak kekerasan paling mematikan terhadap protes dalam sejarah Bangladesh baru-baru ini.
"Lebih dari 1.000 orang tewas dan lebih dari 400 pelajar kehilangan penglihatan," menurut pernyataan dari Kementerian Kesehatan yang dikutip oleh kantor berita Reuters.
Akankah BNP mengisi kekosongan politik?
Selama tiga dekade terakhir, Bangladesh secara bergantian diperintah oleh Liga Awami pimpinan Hasina atau Partai Nasionalis Bangladesh, BNP, pimpinan rivalnya, Khaleda Zia.
Dengan absennya Hasina, partai oposisi BNP ingin berbicara dengan partai lain untuk membuat peta jalan bagi reformasi politik dan pemilihan umum.
"Ketika kekosongan tercipta dalam politik, badai akan datang untuk mengisi kekosongan itu," kata juru bicara BNP Ruhul Kabir Rizvi Ahmed kepada DW. "Jika kekosongan buatan itu diperpanjang, entah bagaimana pasti akan terisi. Oleh karena itu, pendekatan terbaik adalah terlibat dalam dialog."
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Tujuan Jamaat: 'kesatuan politik'
Ketika BNP yang berhaluan kanan-tengah mendorong adanya dialog, sekutu lama mereka, Jamaat-e-Islami, mengambil pendekatan yang berbeda.
Jamaat-e-Islami dan sayap mahasiswanya, Islami Chhatra Shibir, dilarang oleh pemerintah Hasina berdasarkan undang-undang antiterorisme. Namun pemerintah transisi minggu lalu mencabut larangan terhadap partai Islam tersebut, dengan mengatakan tidak menemukan bukti keterlibatannya dalam "kegiatan teroris."
Jamaat kini berupaya memperkuat posisi politiknya dan, menurut laporan surat kabar lokal, ingin menyatukan partai-partai Islam lain di kantung-kantung pemilih konservatif. Sekretaris humas pusat Jamaat, Matiur Rahman Akand, mengatakan partai telah membahas pembentukan aliansi Islam.
"Kami telah mengatakan bahwa semua partai politik dan kekuatan harus bersatu untuk membangun negara," kata Akand kepada DW. "Tidak ada minoritas, tidak ada mayoritas, kami menginginkan persatuan." Ketika ditanya apakah ada rencana masa depan untuk aliansi Islam, dia berkata, "Kami tidak bisa mengatakan apa pun tentang masa depan saat ini. Mengingat situasi saat ini, kami mencoba mencari cara untuk membangun negara ini."
Mahasiswa menginginkan sistem 'non-biner'
Sementara itu, Hasnat Abdullah, seorang pemimpin gerakan mahasiswa, mengatakan kepada DW bahwa mereka ingin bergerak melampaui politik biner.
"Kami akan mengharapkan perubahan," kata Abdullah kepada DW. "Sistem biner yang telah dibuat, baik kanan maupun kiri, baik atas maupun bawah, baik Liga Awami maupun BNP, politik biner yang telah berkembang ini, Bangladesh akan keluar darinya."
Dalam wawancara sebelumnya, dia juga menyebutkan bahwa dirinya ingin melihat perubahan dalam politik dinasti di Bangladesh.
"Kami orang Bangladesh belum melihat perubahan berkelanjutan melalui politik berbasis keluarga ini," kata Abdullah. "Saya berharap Bangladesh akan keluar dari politik dinasti untuk perubahan berkelanjutan."
Abdullah juga menanggapi spekulasi bahwa mahasiswa akan membentuk partai politik baru, dengan menegaskan bahwa belum ada keputusan yang dibuat.
Namun, sekretaris jenderal BNP, Mirza Fakhrul Islam Alamgir, mengatakan mereka akan menyambut baik pembentukan partai mahasiswa.
"Demokrasi adalah tentang sistem multipartai," kata Alamgir. "Kita harus membiarkan seratus bunga bermekaran."
GM Quader, ketua Partai Jatiya, partai terbesar ketiga di Bangladesh, mengungkapkan sentimen serupa, dengan mengatakan bahwa, "jika mahasiswa membentuk partai, kami akan memujinya."
Namun, ketika ditanya apakah partai mahasiswa akan menjadi tantangan politik bagi BNP, Alamgir menegaskan bahwa partainya telah berdiri selama beberapa dekade.
"Kami lahir pada tahun 1979," kata Alamgir kepada DW. "Ketika pemilihan umum diadakan, akan jelas siapa yang mendapat dukungan berapa banyak. Kami telah membuktikannya di jalanan, jadi saya tidak ingin berdebat tentang itu."
Quader, merujuk pada dua pemimpin mahasiswa yang saat ini menjadi bagian dari pemerintahan sementara, mengatakan, "namun, jika mereka membentuk partai politik saat berada di pemerintahan, itu tidak akan menjadi ajang yang setara."
Kapan pemilihan umum akan berlangsung?
Pemimpin sementara Balgladesh, Muhammad Yunus, baru-baru ini menguraikan beberapa pedoman untuk reformasi negara dalam pidatonya kepada rakyat, tetapi dia tidak menyampaikan rencana yang jelas untuk pemilihan umum.
Dia meminta kesabaran dan mengatakan bahwa keputusan tentang peta jalan pemilihan umum akan dibuat melalui diskusi politik. Dia menekankan pentingnya memperkuat lembaga pemerintah daerah dan desentralisasi kekuasaan untuk memperkuat demokrasi.
"Untuk memberikan hasil yang sukses bagi pemberontakan massa mahasiswa dan rakyat, kami akan menyelesaikan reformasi yang diperlukan dalam administrasi, peradilan, komisi pemilihan umum, sistem pemilihan umum, penegakan hukum, dan arus informasi untuk menyelenggarakan pemilihan umum yang bebas, adil, dan partisipatif," kata Yunus.
Namun, beberapa analis percaya bahwa pemerintah sementara saat ini setidaknya harus mengumumkan peta jalan damai yang lebih luas.
"Mereka harus menjelaskan bahwa tugas pertama adalah menyusun basis data mengenai korban yang terbunuh dan terluka dalam pembantaian bulan Juli, dan menguraikan langkah-langkah yang akan pemerintah ambil untuk menegakkan keadilan," kata Samina Lutfa, profesor madya sosiologi di Universitas Dhaka.
(rzn/hp)