Lola Amaria Keliling Jerman dengan Film 'Lima'
17 November 2018Atas inisiatif organisasi Watch Indonesia, film 'Lima' akan ditayangkan di kota Münster, Frankfurt, Bremen, Hamburg, Hannover, dan Berlin. Jerman adalah negara ke-6 dalam rangkaian tur luar negeri Lola Amaria untuk penayangan film terkait kisah sebuah keluarga yang berbeda keyakinan. Deutsche Welle sempat berbincang-bincang dengan Lola Amaria tepat sebelum tur dimulai.
Deutsche Welle: Bisa ceritakan sedikit tentang film 'Lima'?
Lola Amaria: Film ini bertemakan Pancasila dan ada lima sutradara. Salahuddin Siregar, Tika Pramesti, Harvan Agustriansyah, dan Adriyanto Dewo. Dan saya juga produser di film itu, jadi saya meramu lima cerita di satu film yang saling berkaitan di satu plot utuh. Jadi film ini dibuat tahun lalu dan di Indonesia dirilis di semua kota tanggal 31 Mei 2018 dalam rangka menyambut Hari Pancasila.
Bangsa Indonesia kan sedang mengalami krisis kebangsaan, artinya banyak kelompok-kelompok yang ingin mengganti ideologi yang keren ini dengan ideologi-ideologi yang lain. Jadi mudah-mudahan film ini bisa memberikan sesuatu yang positif bagi masyarakat di Indonesia tentunya.
Apakah ada tujuan tersendiri, mengapa film ini digarap oleh lima sutradara?
Dari judulnya sendiri kan sudah 'Lima' dan ini diambil dari Pancasila yang mempunyai lima sila. Dan kelima sila itu kan masing-masing berbicara tentang Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan selanjutnya. Dan ini memang sesuatu yang tidak bisa ditangani oleh satu orang saja. Mungkin bisa, tetapi ini akan memakan waktu yang sangat lama.
Kelima orang ini mengambil tema masing-masing sila, lalu dijadikan satu. Artinya kita bicara tentang sebuah keluarga, yang bapak, ibu dan anaknya berbeda agama. Kita ibaratkan satu keluarga itu rumah, yang diibaratkan Indonesia. Anggota keluarganya itu masyarakatnya. Jadi bagaimana menanamkan nilai-nilai tentang ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan yang dipimpin, kemusyawaratan, kemudian keadilan. Itu semua ada di sana. Jadi kelima anggota keluarga ini mencerminkan masing-masing sila, yang kemudian tanpa disadari itu adalah masalah di Indonesia yang diawali dari sebuah keluarga.
Sekarang film 'Lima' sudah tayang di Indonesia dan di berbagai negara lain. Apakah Lola sendiri puas?
Sebenarnya ini juga menjadi pembelajaran saya. Semua komentarnya beragam. Di Indonesia ada pro dan kontra. Setelah beberapa kali ke luar negeri, Jerman adalah negara ke-6, saya melihat, kalau yang suka, suka sekali dan kalau ada yang nggak suka, nggak suka banget. Nggak ada yang di tengah-tengah. Kalau yang toleran pasti suka sekali dengan film ini, yang intoleran pasti nggak suka banget.
Lalu ada juga hal-hal yang mengganggu, seperti di Bangkok. Jadi sehari sebelum saya tiba, saya mendapat informasi, bahwa banyak kelompok-kelompok di grup WhatsApp, yang memboikot film ini, karena katanya tidak sesuai dengan Syariat Islam. Setelah kami cari tahu, ternyata yang menyebarkan itu adalah kelompok tertentu yang belum menonton filmnya.
Hal-hal seperti itu menyebar dengan cepat, jadi orang-orang yang mendapat informasi itu menjadi penasaran dan justru akhirnya menonton dan memuji-muji. Mereka sendiri yang membuktikan bahwa ini tidak apa-apa dan ini bagus bagi orang Indonesia, untuk membuat kami makin nasionalis, makin mencintai Indonesia, semakin mencintai persatuan dan keberagaman. Dan berbeda itu indah.
Film 'Lima' sekarang perdana di Eropa. Ide awal untuk penayangan di Jerman datang dari mana?
Saya memutar film di Jerman sudah beberapa kali. Mungkin dalam lima tahun terakhir, setiap tahun selalu ke Jerman, dengan film yang berbeda-beda. Ketika Watch Indonesia mau memutar film ini, mereka langsung menghubungi beberapa organisasi, apakah mereka tertarik. Ternyata mereka tertarik dan jadilah tur di enam kota.
Apa makna apa yang diharapkan bisa diambil oleh publik Jerman dari film Lima dan dari Pancasila?
Satu hal adalah keberagaman, karena Indonesia kan dari Sabang sampai Marauke, bahasanya, agamanya, sukunya, bahkan bentuk rambut, warna kulit dan bentuk mata, semua berbeda dari Aceh sampai Papua. Saya rasa itu adalah sesuatu hal yang harus kita pelihara dan negara lain harus melihat itu.
Dan di film itu digambarkan Indonesia sangat toleran. Di dalam film, ada upacara pemakaman, dimana Islam dan Kristen bersatu, bukan malah saling menjelek-jelekan. Apakah di Jerman ini menjadi hal yang baru atau bukan, ketika ada sesuatu yang berbeda atau sesuatu yang bukan pilihannya.
Saya tidak tahu di keluarga Jerman yang Kristen-nya kuat apakah keluarga Islam bisa berdoa juga di penguburan mereka dengan ayat Kursi atau Yassin. Indonesia sangat kaya akan hal-hal yang beragam dan mau ditunjukkan, bahwa kita itu seperti ini.
Apakah Lola ada saran atau ide bagaimana Pancasila bisa lebih dipahami dan dipraktikkan di kehidupan sehari-sehari?
Film ini tepat sekali membicarakan tentang itu. Pancasila itu bukan untuk dihafalkan, Pancasila bukan untuk diagung-agungkan, tetapi bagaimana untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan sehari-hari.
Contohnya film ini, dalam sebuah keluarga, bagaimana di keluarga itu semua saling menghargai dengan yang berbeda agama, yang berbeda pilihan pekerjaan, dan lain-lain. Kalau ada apa-apa mereka musyawarah, misalnya berbagi warisan. Ada pembantu pun di rumah harus adil, supaya semua merata dan tidak ada kesenjangan sesuai nilai Pancasila.
Begitupun di luar keluarga. Seperti di kantor, ada bos, ada tim keuangan, ada teman sesama tim, yang kadang berbeda pilihan politik dan berbeda pandangan, itu pun harus dihargai, dan Pancasila ke arah situ sebenarnya, di pekerjaan, pergaulan dan keluarga. Kalau kita menyebarkan dan menanamkan nilai Pancasila, semua akan baik-baik saja. Tidak akan ada bentrokan, tidak akan ada gesekan, dari hal agama atau hal apa pun.