Macan Asia?
16 September 2013“Tahun 1964 Stadion ini sudah digunakan untuk Olimpiade, tapi tim Sepakbola kami kalah, baru 1968 kami dapat perunggu,” ujar Narito Fukushima, Direktur Festival Film Sepakbola Yokohama yang menemani saya melihat-lihat Stadion Olimpiade negaranya tersebut. Saat itu satu tahun yang lalu dan saya memang sama sekali tidak awas dengan sejarah bahwa Jepang ternyata pernah menguasai medali perunggu Olimpiade di saat (katanya) Indonesia sedang menjadi macan di benua Asia.
Saya sendiri tidak terlalu paham prestasi apa yang sedang dipegang negeri ini di era 1960an. Kabarnya tim nasional kita saat itu sering bertanding di negeri orang dan berhadapan dengan misalnya FC Koeln atau Borussia Moenchengladbach. Salah satu pemain di era tersebut, Max Timisela pernah berkata pada saya “Saya nyaris dikontrak FC Koeln, tapi saat itu dilarang oleh Bung Karno,” kisahnya di sebuah pertemuan tak sengaja di sekretariat Persib Bandung beberapa tahun silam. Ia juga bercerita tentang konser The Beatles di kota Koeln yang sempat ia saksikan dan tentu membuat saya iri.
“Dulu Indonesia adalah Macan Asia!” demikian kata banyak orang-orang tua bahkan generasi muda yang saya sendiri tidak pernah tahu mendapatkan referensi dari mana. Karena bahkan di Asian Games 1962 di kandang sendiri saja kita gagal merebut satupun medali Sepakbola dan praktis Sepakbola kita masih sangat amatir dan berbentuk bond.
“Junaidi Abdillah itu luar biasa!” demikian ujar seseorang yang saya lupa namanya di Dhaka sekitar 3 tahun silam. Lelaki paruh baya ini menyaksikan sendiri aksi tim nasional Indonesia saat meremukkan negeri mereka Bangladesh sekaligus menaklukkan Malaysia dan Srilanka untuk menjadi juara di turnamen yang sebenarnya lebih menonjolkan lomba ketangkasan kuda dan polo ketimbang turnamen Sepakbolanya….yang memang sama sekali tidak populer di Bangladesh.
Tentu lelaki itu terpesona melihat aksi Junaidi Abdillah dkk di saat itu. Karena menurutnya “Sepakbola adalah hal baru disini saat itu, bahkan saat ini rasanya nyaris tidak ada orang yang benar-benar bermain Sepakbola,” lalu saya teringat pada lawan-lawan tim kita di penghujung 1970an itu. Semuanya adalah lawan yang jika dipertemukan dengan kita saat ini juga harusnya bisa kita taklukkan.
Klik untuk membaca lanjutan artikel.
Klik untuk membaca artikel sebelumnya.
Lalu cerita lain berpindah pada bagaimana kita mampu menjadi juara Merdeka Games atau kejuaraan-kejuaraan pemanasan lainnya di berbagai negara atau di negeri sendiri. Wah…saya rasa turnamen-turname berlevel silaturahmi itu harusnya bukanlah tolok ukur sebuah prestasi, apalagi lawan-lawan kita di era 1970an itu sejenis Malaysia, Myanmar, India, Srilanka atau bahkan negeri mini Singapura.
Di dekade itu memang tim olimpiade kita pernah—dan selalu menjadi legenda—nyaris lolos ke Olimpiade 1976 di Montreal. Tapi pertanyaannya, siapa-siapa saja sih lawan kita sebelum akhirnya ditaklukkan di kandang sendiri di Stadion Senayan yang katanya penuh luar biasa itu? Saya sendiri tidak terlalu ingat, sama persis dengan hikayat “Indonesia menahan seri Uni Soviet di Olimpiade 1956,”
“Sebelum turun di Melbourne, kami tour ke Rusia dan saat itu berhadapan dengan tim-tim yang kalo di kita sejenis dengan tim dari Klender, Cililitan atau bahkan Srengseng. Lalu apa kami menang? Kami terus menerus kalah!” tegas Tan Liong Houw, gelandang bertahan tim Merah Putih yang memperkuat tim 1956 itu. “Makanya saat kami melihat bagaimana Uni Soviet memukul Jerman—Indonesia mendapat bye—saya sempat merasa gila bahwa akan menghadapi negara yang tim kampungnya saja tak bisa kami kalahkan,”
Tapi Tan dengan jelas menyebutkan bahwa sebelum berangkat ke Melbourne, Indonesia menaklukkan China yang saat itu praktis adalah tim terkuat di Asia “Emang siapa yang terkuat di Asia saat itu?” tanya saya cepat di percakapan di pinggir lapangan Sepakbola di kawasan Kota “Antara kita, Israel dan China lha, kan waktu itu negara-negara Asia lain belum merdeka….tuh negara-negara Arab kan masih baru dibagi-bagi sama Inggris,” ujarnye enteng.
Saya lalu berpikir, jika Israel kita lawan dan kalahkan di Pra Piala Dunia 1958 dan kita berangkat ke Swedia, mungkin sah juga menyebut kita sebagai yang terbaik di Asia, masalahnya, hal itu tidak pernah terjadi. Bahkan saat mereka menjuarai Piala Asia di 1964 atau bahkan saat Iran terus menjuarai kejuaraan yang sama dari 1968 sampai 1976, saya bahkan tidak paham Sepakbola Indonesia sedang sibuk apa.
Yang lalu saya tahu saat saya masih sangat kanak-kanak, saya menjadi saksi timnas kita tak mampu mengalahkan Fiji di Pra Piala Dunia 1982. Lalu tim kita terlihat bagus (inilah timnas terbaik kita versi saya) di Pra Piala Dunia 1986….itupun babak belur juga oleh Korea Selatan yang juga Juara Asia di turnamen Asia pertama di tahun 1956……ingat, mereka jadi juara sebuah turnamen level benua dan kita hanya menahan seri sebuah negara yang hari ini sudah tidak ada lagi (untuk kemudian kalah 0-4 di tanding ulang satu hari sesudahnya)
Anda pasti tahu bahwa Indonesia akhirnya untuk pertama kali lolos ke Piala Asia di Emirat Arab 1996….benar! untuk pertama kalinya, itupun untuk menjadi juru kunci dan dianggap sebagai underdog. Benar kita lolos lagi di tahun 2000 dan sempat memukul Qatar di 2004, tapi sebelum pertandingan Philip Troussier di jumpa pers menyebut kita sebagai “A team from a never neverland,”
Jadi sebenarnya seperti apakah kekuatan Sepakbola Indonesia ini? Apa iya benar-benar hebat dan benar-benar disesaki oleh bakat-bakat luar biasa yang kabarnya tidak terasah itu? Ah saya rasa terlalu susah menjawabnya, karena Sepakbola pada akhirnya adalah urusan pencapaian. Lalu apa pencapaian terbaik yang pernah kita buat? Juara sebuah turnamen kelas Asia Tenggara, itupun sudah lewat 22 tahun, itupun sampai hari ini hanya menjadi target tertinggi bangsa ini…..itupun saat pertama kali diraih di tahun 1987 disebut sebagai “Prestasi puncak tim nasional Indonesia”.
Andibachtiar Yusuf, Filmmaker & Football Reverend @andibachtiar