Mahasiswi Arab Saudi Dibui 34 Tahun Karena Kicauan Twitter
19 Agustus 2022Pegiat dan advokat Hak Asasi Manusia mengecam vonis terhadap Salma al-Shehab karena dianggap berlebihan. Mahasiswi doktoral yang sedang menempuh pendidikan di Inggris itu ditangkap saat berlibur bersama keluarga di Arab Saudi, Januari 2021 silam, menurut Freedom Initiative, lembaga HAM di Washington, Amerika Serikat.
Kepada majelis hakim, al-Shehbab mengaku ditahan di sel isolasi selama 285 hari sebelum kasusnya diadili. Menurut Freedom Initative, terpidana termasuk anggota minoritas Syiah yang kerap mendapat diskriminasi di Arab Saudi.
"Arab Saudi membanggakan perbaikan hak perempuan dan reformasi hukum, tapi putusan keji ini jelas membuktikan bahwa situasinya hanya semakin memburuk," kata Bethany al-Haidari dari Freedom Initiative.
Lembaga HAM lain,Amnesty International, menyebut proses pengadilan al-Shehab "sangat tidak adil" dan putusan terhadapnya sebagai "kejam dan ilegal."
Majelis hakim menuduh al-Shehbab "mengganggu ketertiban umum" dan "merusak tenun sosial," melalui aktivitasnya di media sosial. Menurut dokumen pengadilan, mereka menuduh terdakwa mengikuti dan mengunggah ulang cuitan disiden di Twitter, serta "menyebarkan rumor palsu."
Buntutnya pengadilan memutus hukuman penjara selama 34 tahun kepada al-Shehab, yang disertai larangan berpergian ke luar negeri untuk kurun waktu yang sama. Putusan yang dibuat dengan dalil UU Anti-Terorisme dan Tindak Kriminal Siber itu memperkuat putusan pengadilan sebelumnya yang memvonis enam tahun penjara.
"Hukuman enam tahun penjara yang diterima terdakwa tergolong kecil jika dibandingkan kejahatannya," tutur jaksa di pengadilan. "Saya memohon pengadilan mengkaji ulang vonis tersebut, dengan mempertimbangkan dukungan terdakwa terhadap mereka yang berusaha mengganggu ketertiban dan menciptakan kekacauan sosial, sebagaimana yang terlihat pada aktivitasnya mengikuti dan me-retweet akun-akun di Twitter."
Pidana terorisme akibat cuitan di Twitter
Universitas Leeds memastikan al-Shehab sudah memasuki tahun terakhir pendidikan doktoral di fakultas kedokteran. "Kami sangat khawatir mendengar perkembangan terbaru dari kasus Salma, dan kami sedang mencari tahu apa yang bisa kami lakukan untuk mendukungnya," tulis manajemen universitas dalam keterangan persnya.
Kasus tersebut juga menarik perhatian Washington. Kamis (18/8) kemarin, Kementerian Luar Negeri AS mengatakan pihaknya "sedang mempelajari kasus ini." Mengekspresikan kebebasan berbicara untuk mengadvokasi hak perempuan tidak boleh dikriminalisasi," kata juru bicara Kemenlu, Ned Price. "Ia selamanya tidak boleh dikriminalisasi," imbuhnya.
Komisi AS untuk Kebebasan Beragama Internasional juga mengekspresikan kekhawatiran terkait nasib al-Shehab, yang dipenjara "kearena aktivisme damai dalam solidaritas dengan tahanan politik," dan demi identitas keyakinannya sebagai seorang Syiah.
Bulan lalu, Presiden AS Joe Biden melawat ke Riyadh dan mengaku sempat membahas isu HAM bersama Pangeran Mohammed bin Salman. Kunjungan tersebut menandakan pulihnya hubungan kedua negara yang sempat mendingin akibat pembunuhan jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi, pada 2018 silam. Pembunuhan itu diduga kuat dilakukan atas perintah bin Salman.
Kepada pengadilan banding, al-Shehab mengatakan putusan berat yang dijatuhkan kepadanya bertanggungjawab atas "kehancuran pribadi, keluarga, masa depan saya dan masa depan anak-anak saya." Dia memiliki dua putra yang berusia empat dan enam tahun.
Dia mengaku tidak mengetahui bahwa hanya dengan me-retweet unggahan seseorang "atas dasar keingintahuan dan niat memahami pandangan yang berbeda," dari akun pribadi dengan pengikut yang tidak lebih dari 2000 pengguna, akan dikategorikan sebagai tindak terorisme.
rzn/hp (ap, rtr)