Makin Banyak Perempuan Iran Terpaksa Lakukan Aborsi Ilegal
17 Januari 2025Menurut angka dari Kementerian Kesehatan Iran yang dilaporkan oleh situs berita Khabaronline pada bulan Juni 2024, lebih dari 600.000 aborsi ilegal dilakukan setiap tahunnya di Iran. Para ahli mengatakan kemiskinan, pengangguran, dan kurangnya jaminan sosial merupakan faktor-faktor yang memaksa wanita melakukan aborsi meskipun risikonya serius.
Pada bulan November 2021, anggota parlemen Iran, di bawah naungan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, mengesahkan undang-undang yang disebut "peremajaan penduduk dan dukungan keluarga." Undang-undang kependudukan itu berlaku selama masa percobaan 7 tahun dan memuat ancaman sanksi berat terhadap pelanggaran.
Pakar hak asasi manusia PBB mengeluarkan pernyataan yang menyerukan agar undang-undang tersebut dicabut. Mereka mengecam undang-undang tersebut sebagai "pelanggaran langsung terhadap hak asasi manusia perempuan berdasarkan hukum internasional." Undang-undang ini melanggar hak untuk hidup dan kesehatan dengan memblokir akses ke "berbagai layanan kesehatan reproduksi" dan informasi tentang hak reproduksi, kata aktivis PBB.
Undang-undang baru mengkriminalisasi sterilisasi
Berdasarkan undang-undang kependudukan itu, aborsi hanya diizinkan dibolehkan dalam kasus yang membahayakan nyawa ibu atau janin atas izin panel yang terdiri dari hakim, dokter yang ditunjuk pengadilan, dan dokter forensik. Dokter atau ahli bedah yang melakukan aborsi ilegal berisiko kehilangan izin praktik secara permanen, hukuman penjara dua hingga lima tahun, dan denda besar. Sebelumnya, aborsi diizinkan jika janin terbukti memiliki cacat berat oleh tiga dokter. Prosedur dengan udang-undang yang baru diperkirakan akan menyebabkan peningkatan dramatis dalam cacat lahir.
Dengan undang-undang itu, alat kontrasepsi juga tidak lagi disediakan gratis di pusat kesehatan atau apotek. Selain itu, undang-undang tersebut mengkriminalisasi segala bentuk sterilisasi, termasuk prosedur seperti vasektomi dan ligasi tuba. Hukum pidana Islam juga memperbolehkan laki-laki melaporkan istrinya yang melakukan aborsi. Dalam kasus seperti itu, perempuan tersebut menghadapi denda, tergantung pada hasil investigasi forensik.
Pada Oktober 2024, kepala Pusat Pertumbuhan Penduduk di Kementerian Kesehatan Iran memperingatkan bahwa staf pusat secara aktif mengidentifikasi pasangan yang berencana melakukan aborsi di rumah sakit dan kantor dokter, untuk menekan dan mencegah mereka melakukannya.
Perempuan beralih ke aborsi ilegal
Ada beberapa indikasi bahwa pembatasan pemerintah telah mengubah Iran menjadi pasar gelap untuk obat-obatan aborsi yang berkembang dengan pesat. Parvin Delshad, dokter dan dosen di Universitas Queensland di Australia, mengatakan kepada DW, undang-undang yang baru meningkatkan angka kematian ibu melalui aborsi ilegal.
"Terlepas dari apakah aborsi dilakukan di rumah dengan menggunakan obat-obatan untuk mempercepat pendarahan atau dengan intervensi bedah, aborsi harus dilakukan di bawah pengawasan dokter spesialis. Dalam kedua kasus, harus dipastikan tidak ada bahaya bagi nyawa,” kata Delshad.
Dia mengatakan, wanita yang menggunakan obat aborsi ilegal sering kali tidak menyadari komplikasi kesehatan dan mempertaruhkan nyawa mereka dengan melakukan penghentian kehamilan yang tidak aman.
Parvin Delshad juga menekankan bahwa dokter harus memastikan bahwa wanita yang merencanakan aborsi tidak menderita penyakit menular seksual, karena ini meningkatkan risiko infeksi panggul dan selanjutnya menyebabkan kemandulan.
Data dari Kementerian Kesehatan Iran menunjukkan, sekitar 60% aborsi dilakukan di rumah menggunakan pil aborsi, 30% di klinik kesehatan dan 10% di "toko herbal" dengan menggunakan ramuan herbal.
Diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris