Malaria Resisten Obat Arteminisin Muncul di Afrika
14 Januari 2023Malaria hingga kini tetap jadi penyakit endemik di negara-negara miskin. Sedikitnya 247 juta orang terinfeksi parasit Plasmodium falciparum pemicu penyakit malaria pada tahun 2021 lalu. Kasus kematian di seluruh dunia akibat malaria tercatat sekitar 619.000 pada tahun yang sama.
Yang kini membuat para peneliti dan pakar kesehatan khawatir, adalah munculnya varian parasit malaria yang sudah kebal obat Arteminisin. Terutama di Afrika Timur mulai menyebar varian parasit malaria yang mengalami mutasi dan mengembangkan resistensi terhadap obat ampuh tersebut.
Welmoed van Loon pakar penyakit tropis di Rumah Sakit Charité di Berlin, sejak beberapa tahun terakhir mengamati munculnya mutasi parasit malaria yang mengembangkan kekebalan pada unsur aktif Artemisinin ini di benua Afrika itu.
Organisasi Kesehatan Dunia- WHO mencatat, penyebaran varian parasit malaria kebal obat itu terutama di tiga negara Afrika, yakni Eritrea, Uganda dan Ruanda. Persentase kasus varian malaria kebal obat di Eritrea dan Rwanda bahkan melebihi 14%. Karena itu WHO sudah membunyikan tanda bahaya, terkait kemungkinan penyebaran varian malaria resisten yang lebih luas lagi.
Tidak ada alternatif obat maupun vaksin malaria
"Kita saat ini tidak memiliki opsi lain untuk memerangi malaria di Afrika. Jika varian malaria yang resisten obat Artemisinin menyebar makin luas, akan terjadi dampak endemi makin parah, dan juga dikhawatirkan jumlah fatalitas akan terus naik," ujar pakar malaria Expertin Dorothy Achu kepada DW.
Walau begitu WHO sudah berjaga-jaga, dengan menerapkan terapi kombinasi dua jenis obat malaria di Afrika. Jadi selain Artemisinin juga diberikan obat dengan unsur aktif lainnya yang juga ampuh melawan malaria. Skenario paling mengerikan dari WHO adalah, jika mutasi parasit malaria ini, juga mengembangkan kekebalan terhadap unsur aktif lain tersebut.
Skenario terburuk mengingatkan para pakar kesehatan pada situasi tahun 1970-1980an, saat parasit malaria mengembangkan kekebalan pada unsur aktif Chloroquin. Dampaknya jumlah kematian global akibat penyakit malaria pada era tersebut melonjak melebih satu juta orang per tahunnya.
Selain itu, pakar penyakit tropis di Rumah Sakit Charité di Berlin, van Loon menjelaskan, sejauh ini juga belum ada vaksin untuk pencegahan malaria. Berbagai uji coba, gagal mengembangkan vaksin yang memiliki efektivitas memadai. Bahkan beberapa uji vaksin dilaporkan memicu kematian responden.
Rencana aksi mengerem resistensi obat
Pakar malaria WHO, Dorothy Achu mengatakan, mutasi parasit penyebab penyakit adalah hal yang normal di alam. "Namun ada banyak faktor yang justru mempercepat laju mutasi patogen itu. Kebiasaan dan cara menggunakan obat yang tidak rasional adalah yang paling sering memicu mutasi dan resistensi”, papar Achu.
Masih banyak warga yang langsung mengobati diri sendiri dengan obat antimalaria, hanya karena mengira mereka terinfeksi, tanpa sebelumnya mendapat diagnosis dari dokter. Atau juga banyak yang menghentikan pengobatan secara dini, sebelum dosis yang diberikan sesuai usia atau status penyakit mereka dihabiskan. Alasannya klasik, karena pasien merasa kondisinya sudah membaik.
Karena itu WHO dalam rencana aksi penanggulangan malaria dari akhir tahun 2022 menuntut kemungkinan pengujian malaria lebih luas negara-negara endemik. Dengan itu hendak dicegah kebiasaan mengkonsumsi obat anti malaria hanya berdasar dugaan. Juga pemerintah diwajibkan melakukan tindakan melawan pemalsuan obat atau obat dengan kualitas rendah.
Dalam waktu bersamaan langkah preventif juga harus diperluas, dalam artian orang jangan sampai terinfeksi malaria. Misalnya menggalakkan pemberantasan sarang nyamuk dan pembagian kelambu anti nyamuk. "Juga pemberian obat kombinasi disarankan menggunakan tiga jenis obat, bukan dua jenis seperti saat ini. Dan riset mencari vaksin anti malaria harus dilanjutkan”, pungkas pakar penyakit tropis di RS Charité, van Loon. (as/vlz)