Mampukah Pariwisata Bali Bertahan di Tengah Badai Corona?
9 September 2020“Hancur mas,“ jawab Bayu lirih. Itulah kata yang dilontarkan salah seorang pemilik usaha tour & travel di Bali ini menggambarkan kondisi para pelaku usaha pariwisata di sana kini kepada DW Indonesia.
Tak heran, sejak pertama kali kasus positif COVID-19 diumumkan di Indonesia oleh Presiden Joko Widodo awal Maret lalu, pandemi yang telah merenggut nyaris 900 ribu nyawa di seluruh dunia ini dengan cepat memukul perekonomian.
Pada kuartal II 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi cukup dalam, yakni -5,32 persen. Bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pandemi corona sebagai “perfect storm“ yang memporakporandakan perekonomian Indonesia.
Jika nantinya pada kuartal III pertumbuhan ekonomi kembali terkontraksi, dipastikan Indonesia memasuki jurang resesi, seperti halnya Singapura dan Australia.
Sektor pariwisata jadi salah satu sektor yang paling terpukul karena pandemi. Sempat ditutup untuk kunjungan wisatawan, Bali telah membuka kedatangan wisawatan domestik sejak 31 Juli lalu. Tetapi Pulau Dewata itu masih tertutup bagi wisatawan mancanegara (wisman), yang biasanya paling banyak menghamburkan uang selama berlibur di sana.
Bali yang digadang-gadang akan membuka gerbangnya bagi wisman pada 11 September mendatang, akhirnya urung melakukan hal tersebut. Pemerintah beralasan masih terus mengevaluasi situasi dan kondisi penyebaran virus corona terkait dibukanya kunjungan pariwisata bagi wisman.
Bayu yang berbasis di Denpasar menceritakan, selama pandemi ini dia terpaksa menganggur karena tidak ada kunjungan wisatawan asing. Pria yang mulai merintis usaha tour & travel sejak tahun 2011 ini, mengaku dapat menerima kunjungan wisatawan rata-rata 30 orang per bulan sebelum pandemi melanda. Jumlah itu bisa naik dua kali lipat jika memasuki puncak musim liburan. Mayoritas para tamunya adalah wisman asal Australia.
“Jujur saya enggak ada kerjaan (lain), pandemi saya ikut istri. Istri masih kerja. Kerjaan istri di kantor… Mau (kerja) apa? Sekarang posisi di Bali sudah enggak ada apa-apa,“ tutur pria bernama lengkap Bayu Charisma Aji ini.
Lain halnya dengan I Wayan Arya Ariawan, manajer restoran di sebuah hotel berbintang di kawasan Sanur. Saat pandemi melanda, pihak hotel hanya mempekerjakannya dua hari dalam sepekan. Bahkan, gaji bulanannya terpaksa dipangkas hingga 70 persen. Demi mencukupi kebutuhan sehari-hari, Arya beserta istri kini berjualan jamu.
“Kami berjualan jamu, tentunya lebih aman dan lebih mudah,“ ujar Arya.
Merugi Rp 9,7 T per bulan
Dihubungi DW Indonesia, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali, I Putu Astawa, mengatakan bahwa Bali mengalami kerugian Rp 9,7 triliun per bulan dari penutupan sektor pariwisata. Angka itu disebutnya baru berasal dari wisatawan mancanegara. Dalam setahun wisman yang datang ke Bali bisa mencapai 6,3 juta orang.
“Kalau pendekatannya wisatawan mancanegara kita kehilangan devisa sekitar 9,7 triliun rupiah per bulan. Karena setahunnya 116 trilun rupiah devisa kita. Dari mancanegara itu spendingnya 2,3 juta rupiah per hari, lama tinggalnya 8 hari,“ jelas Putu, Senin (07/09).
Meski mengaku mengalami kerugian besar-besaran, Putu optimis kondisi pariwisata Bali dapat kembali bangkit. Ia mengatakan bahwa sejak Bali kembali dibuka untuk wisatawan domestik, angka kunjungan perlahan meningkat.
“Kalau sebelum dibuka kedatangan rata-rata 900 orang domestiknya, setelah dibuka rata-rata kedatangannya tiga ribuan per hari,” ungkapnya.
Putu menjelaskan pihaknya terus maksimalkan upaya persiapan protokol kesehatan ketat di lokasi-lokasi wisata di Bali sekaligus menggencarkan promosi-promosi bagi wisatawan domestik. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk memulihkan kondisi pariwisata di sana seraya menunggu dibukanya pintu untuk wisman oleh pemerintah pusat.
“Pasar kita didominasi oleh Australia, Tiongkok, India, kan itu yang setiap tahunnya yang banyak. Sedangkan hampir seluruhnya negara-negara itu masih menutup perbatasannya,” imbuhnya.
“Lebih baik kita memantapkan dulu (persiapan) mumpung mereka juga belum buka. Karena kita berpikir kalau kita buka penerbangan tidak ada yang datang sia-sia. Jadi evaluasi kita seperti itu,“ Putu menambahkan.
Pelaku usaha bahu-membahu
Dalam kondisi saat ini, Bayu pun berharap pemerintah dapat memberikan bantuan insentif kepada para pelaku usaha pariwisata di Bali secara menyeluruh. Ia juga meminta pemerintah untuk meringankan biaya pemeriksaan tes corona di sana.
“Travel bis kalau masuk ke Bali di pelabuhan sekali rapid (test) 150 ribu satu orang, kalau 50 orang satu bis? Itu kan kita keluarin biaya sangat besar. Dari pemerintah kan harusnya kasih bantuan,“ imbuh Bayu.
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa kini para pelaku usaha tour & travel di Bali saling berbagi informasi jikalau ada wisatawan yang datang. "Kita saling membatu, kalau ada tamu masuk kita saling share. Umpamanya saya dapat tamu, teman saya belum jalan, saya bagi ke teman," ungkapnya.
Melihat kondisi ini, Taufan Rahmadi, pakar strategi kreatif pariwisata pun menyatakan keprihatinannya akan nasib pelaku usaha pariwisata di Pulau Dewata.
“Saya berpikir bahwa tidak akan lama mereka (pelaku usaha) bisa bertahan. Mereka bisa banting setir, itulah cara mereka bertahan. Tetapi perlu diingat itu hanya sementara mereka bisa lakukan. Pemerintah harus hadir,” ujar Taufan kepada DW Indonesia.
Taufan mendorong pemerintah untuk memberikan insentif yang merata kepada para pelaku usaha. Di samping itu, saling bahu-membahu antar pelaku usaha pariwisata jadi hal yang wajib dilakukan.
“Pelaku pariwisata semuanya di daerah masing-masing saling membantu. Yang kuat membantu yang lemah, perusahaan besar membantu perusahaan yang kecil. Desa wisata yang sudah mapan membantu desa wisata yang lain. Apa kebutuhan saling membantu, pekerjaan, hasil produk, itu yang namanya solidarity on survival,” paparnya.
Penerapan program CHSE
Direktur Pengembangan Destinasi Regional II Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Wawan Gunawan, mengakui kondisi pariwisata Bali saat ini merupakan yang terburuk sepanjang sejarah.
“Tingkat hunian hotelnya mencapai 0,“ terang Wawan dalam pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia, Selasa (08/09).
Ia menyampaikan Kemenparekraf terus “melengkapi dan menyempurnakan fasilitas destinasi wisata di Bali untuk menyambut wisatawan di masa adaptasi kebiasaan baru“ antara lain melalui program Bali Rebound yang telah dilaksanakan beberapa waktu lalu. Empat kawasan destinasi favorit di Bali, yaitu Nusa Dua, Pantai Kuta, Pantai Pandawa, dan Uluwatu dipilih sebagai lokasi kegiatan.
“Kemenparekraf memberikan berbagai fasilitas, di antaranya alat pendukung kebersihan, kesehatan, dan keamanan berupa wastafel, sapu pantai, tempat sampah, thermo gun, disinfektan, pemasangan signage atau rambu Sapta Pesona dan papan informasi,“ paparnya.
Bali sendiri telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai pilot project penerapan program CHSE (Cleanliness, Health, Safety, Environment) sebagai upaya pemulihan sektor pariwisata. Wawan menyebut panduan atau handbook tentang protokol CHSE di bidang hotel, restoran, daya tarik, homestay, spa, usaha perjalanan, kegiatan wisata minat khusus, sudah disiapkan dan memasuki tahap final.
Dihubungi secara terpisah, Deputi Bidang Industri dan Investasi Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kemenparekraf, Fadjar Hutomo, menyampaikan insentif juga akan diberikan kepada pelaku usaha pariwsata guna mendukung pengimplemetasian program CHSE tersebut.
“Saat ini tengah kami siapkan juknisnya bersama dengan Dirjen Perimbangan Keuangan Daerah Kemenkeu,“ papar Fadjar.
Pandemi mengubah paradigma
Pandemi corona dinilai Taufan telah merubah paradigma pariwisata yang awalnya tertuju kepada kuantitas wisata menjadi kualitas wisata. Dengan strategi pemasaran dan pelayanan yang tepat, spending wisatawan bisa bernilai besar meski tidak sebandung dengan jumlah kunjungan yang ada.
Maka dari itu, Taufan mendorong pemerintah untuk memperkuat amenitas yang ada sekaligus menyiapkan lokasi-lokasi yang berpotensi dijadikan new normal destination, sebelum dibukanya Bali untuk wisman.
“Jangan sampai daerah-daerah ini pada lomba-lomba membuat restart tourism tapi ternyata mereka tidak sesuai aturan yang ada malah justru muncul kluster-kluster baru,“ katanya.
Hal senada juga disampaikan Putu. Pemerintah Provinsi Bali kini tengah meninjau lokasi-lokasi wisata yang berpotensi dijadikan new normal destination yang tetap mengikuti protokol kesehatan.
“Semuanya kita selektif, terbatas, dan bertahap. Kalau yang outdoor cari yang aman. Kalau yang belum aman area-area yang berisiko tinggi seperti klub malam, spa. Masih perlu ditinjau mana daerah hijau mana daerah merah,“ ujar Kepala Dinas Pariwsata Provinsi Bali ini.
Hingga berita ini diturunkan jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia telah menembus angka 200 ribu kasus. Dari angka tersebut, sedikitnya 8.200 kasus meninggal dunia, menjadikan Indonesia negara dengan tingkat kematian COVID-19 tertinggi ketiga di Asia di bawah India dan Iran, dan tertinggi pertama di kawasan Asia Tenggara.
Provinsi Bali sendiri mencatat sedikitnya 6.500 kasus positif COVID-19. Kasus kematian dilaporkan sebayak 128 kasus dengan lebih dari 5.200 kasus sembuh.
rap/hp