Mari Bertandang dan Lihat Balada Negeri Aisenodni
7 April 2018Alkisah ada sebuah negeri bernama Aisenodni dimana para penghuninya berpikiran, berpandangan, dan berperilaku mundur ribuan tahun ke belakang, sangat kontras dengan penduduk negeri-negeri maju yang berpikiran, berpandangan, dan berperilaku maju ribuan tahun ke depan.
Jika warga negara-negara maju memiliki visi dan spirit kemajuan (advancement) guna menyongsong hari esok yang lebih gemilang, maka warga negara Aisenodni ini justru bervisi dan berspirit kemunduran (backwardness) untuk menyongsong khayalan keindahan dan kesempurnaan masa lalu yang sebetulnya tidak pernah mereka alami.
Kalaupun penghuni Aisenodni berpikiran maju ke depan, yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana hidup indah di surga yang dikelilingi oleh alam hijau royo-royo plus bidadari-bidadari yang menawan. Dengan kata lain, masa depan yang mereka maksud adalah alam pascakematian. Memang tidak ada salahnya mengimajinasikan dunia pascakematian. Menjadi bermasalah jika mereka terlalu mengkhayal dengan dunia akhirat sementara melupakan alam nyata beserta makhluk dan problematikanya.
Pula, jika penduduk negara-negara maju hiruk-pikuk memikirkan, membicarakan, mendiskusikan, dan meneliti hal-ihwal yang berkaitan dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan serta penemuan teknologi baru, para penghuni negeri Aisenodni justru hiruk-pikuk memikirkan, membicarakan, mendiskusikan, dan meneliti hal-ihwal yang berkaitan dengan akidah dan teologi serta praktik-praktik sosial-keagamaan tertentu yang dianggap sebagai bid'ah, sesat, haram, syirik, dan seterusnya.
Warga negara-negara maju berlomba-lomba menciptakan karya-karya seni yang artistik, adiluhung, dan memiliki nilai spiritualitas tinggi, sedangkan para penghuni negeri Aisenodni berlomba-lomba merusak dan menghancurkan karya seni (arca, kuil, sinagog, seni batu susun, dan sebagainya) karena semua itu dianggap bisa mengganggu keimanan dan akidah umat Islam. Benda-benda apapun yang dipandang bisa mengantarkan pada kemusyrikan, oleh kaum Aisenodni, harus dilumatkan dari muka bumi.
Para penduduk negeri-negeri maju sibuk mendiskusikan masalah-masalah besar bagi alam semesta dan kemanusiaan global yang berpotensi mengganggu bagi kehidupan generasi mendatang seperti problem pemanasan global (global warming), penipisan lapisan ozon, kepadatan demografi di planet bumi, dan sebagainya, kemudian dicari solusi alternatifnya. Sementara itu, para penghuni negeri Aisenodni justru sibuk meributkan dan mengkhotbahkan masalah-masalah kecil yang sama sekali tidak penting seperti cadar islami, wisata reliji, hijab syar'i, busana Muslim/Muslimah, ompol onta, olahraga panahan, poligami, jubah, jenggot, dan semacamnya. Tidak seperti penduduk negeri maju, penghuni negeri Aisenodni hobi membesar-besarkan masalah mini, sepele, remeh-temeh, dan tak bermutu sama sekali.
Para penduduk negeri-negeri maju sibuk meriset dan menciptakan teknologi canggih seperti nuklir, robot, pesawat tanpa awak (drone) dan aneka teknologi baru di bidang Internet, otomobil, dan telekomunikasi. Sementara itu para penghuni negeri Aisenodni sibuk "meriset” dan menciptakan fatwa-fatwa baru yang mengharamkan ini-itu dan menghalalkan ini-itu.
Para penduduk negeri-negeri maju tidak menjadikan perbedaan pandangan dan praktik ritual-keagamaan sebagai sesuatu yang substansial karena itu bagian dari pluralitas pemikiran dan tindakan manusia yang harus dihargai. Sedangkan para penghuni negeri Aisenodni lain lagi perspektif mereka. Mereka bersikeras menyeragamkan keanekaragaman pandangan dan praktik ritual-keagamaan, khususnya di kalangan umat Islam, agar sesuai, dalam imajinasi mereka, dengan praktik keislaman Nabi Muhammad dan generasi Muslim awal.
Keragaman berkah atau petaka?
Bagi mereka, keragaman bukanlah berkah yang harus disyukuri tetapi malapetaka yang harus diratapi. Pluralitas, bagi kaum negeri Aisenodni, bukanlah medium untuk saling belajar dan memperkaya wawasan, pengetahuan, pengalaman, dan kebijaksanaan, melainkan sebagai penghalang bagi upaya purifikasi keagamaan atau penghambat bagi upaya mewujudkan Islam yang otentik, murni, dan pristine. Overdosis fanatisme dan puritanisme memang menjadi salah satu ciri menonjol penduduk negeri Aisenodni.
Ciri lain yang tak kalah pentingnya dari penghuni negeri Aisenodni adalah kegemarannya memproduksi dan kemudian mempercayai informasi dan berita-berita hoaks alias palsu demi menyenangkan sesama anggota atau penghuni negeri itu. Mereka meyakini kebenaran dan validitas berita-berita hoaks yang mereka buat sendiri. Sementara berita-berita valid yang berasal dari sumber-sumber yang akurat dan terpercaya malah tidak mereka gubris dan percayai. Akhirnya, tua-muda, laki-laki-perempuan semua terjerumus dalam kubangan informasi hoaks yang menyesatkan.
Karakteristik lain yang sangat menonjol dari penghuni Aisenodni adalah kegemarannya yang suka berbuat onar, gaduh, intoleran, dan bahkan tak segan melakukan hujatan dan kekerasan terhadap orang dan kelompok lain yang mereka anggap sebagai "lawan”, tak peduli apakah mereka itu tokoh agama, tokoh masyarakat, atau pejabat pemerintah. Para penghuni negeri Aisenodni ini nyaris tak mempunyai etika dan akhlak secuilpun sehingga bisa berbuat seenaknya atas nama ajaran agama, Kitab Suci, dan bahkan Tuhan.
Karena penghuninya yang tak bermoral, tak beretika, tak beradab, dan tak menghargai keanekaragaman masyarakat, agama, dan suku-bangsa, negeri Aisenodni pun akhirnya hancur-lebur berkeping-keping lantaran para penghuninya saling-hujat, saling-fitnah, dan saling-bunuh dengan bengisnya. Negeri Aisenodni yang dulunya elok dan menawan pun kemudian berubah menjadi "neraka” yang mengerikan.
Sebelum terlambat
Kepada penduduk Indonesia, jika kalian kelak ingin hidup maju dan bermartabat, dan bangsa kalian ingin menjadi bangsa yang besar dan adiluhung, maka jauhilah watak, karakteristik, pemikiran, dan perilaku yang ditunjukkan oleh penghuni Aisenodni. Indonesia adalah bangsa dan negara besar, maka jangan sampai kelak terjerembab menjadi bangsa dan negara kecil hanya karena masyarakatnya berwatak, berpikiran, dan berperilaku kerdil seperti yang ditunjukkan oleh kaum Aisenodni.
Indonesia adalah negeri yang indah dan majemuk dengan beragam etnis, suku, golongan, agama dan kepercayaan tinggal di dalamnya. Maka jangan sampai keindahan dan kemajemukan Indonesia itu di kemudian hari hanya tinggal kenangan saja karena dibumihanguskan oleh kelompok-kelompok intoleran dan antikemajemukan. Cukup banyak contoh negara dan peradaban di bumi pertiwi ini yang hancur-lebur karena ulah segelintir kelompok intoleran, radikal, tak beradab, dan gemar melakukan aksi kekerasan, baik atas nama agama, ras, etnis, suku, maupun rezim politik tertentu.
Sebelum semua terlambat, warga negara Indonesia yang masih waras dan memiliki akal-sehat—apapun agama, kepercayaan, dan etnis kalian—mempunyai tanggung jawab moral-intelektual-spiritual untuk menjaga, merawat, mempertahankan, dan terus memperjuangkan negeri yang pluralis nan indah warisan para nenek-moyang leluhur bangsa ini, agar kelak jangan sampai mengalami nasib tragis seperti negeri Aisenodni yang tersungkur dan tertimbun dalam limbo sejarah.
Penulis: Sumanto Al Qurtuby (ap/vlz)
Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia menulis lebih dari 18 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.