Melihat Peluang Realisasi Investasi UEA di Indonesia
13 Januari 2020Uni Emirat Arab (UEA) akhirnya menyusul pemerintah Jepang, SoftBank, dan US International Development Finance Corporation (DFC) berkomitmen untuk berinvestasi di Indonesia. Kesepakatan in terjalin dalam pertemuan bilateral antara kedua negara di Istana Kepresidenan Qasr Al Watan di Abu Dhabi, UEA, Minggu (12/01) sore waktu setempat.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh Presiden Indonesia Joko Widodo dan Putra Mahkota Abu Dhabi Mohamed bin Zayed, kedua negara sepakat menjalin 16 perjanjian kerja sama.
Perjanjian kerja sama tersebut terdiri atas 11 perjanjian bisnis di bidang energi, migas, petrokimia, pelabuhan, telekomunikasi, dan riset dengan estimasi total nilai investasi sebesar US$ 22.89 miliar atau sekitar Rp 314,9 triliun. Sementara 5 perjanjian lainnya adalah perjanjian antar pemerintah di bidang keagamaan, pendidikan, pertanian, kesehatan, dan penanggulangan terorisme.
Jokowi pun mengapresiasi hubungan kerjasama antara kedua negara ini.
“PEA (Persatuan Emirat Arab) akan tetap menjadi salah satu mitra penting kerja sama ekonomi Indonesia, terutama di bidang investasi,” terang Jokowi.
Menaggapi kerja sama ini, Putra Mahkota Mohamed bin Zayed meyakini bahwa hubungan kedua negara ke depan masih dapat ditingkatkan.
“Kita dapat memulai era baru hubungan kedua negara yang lebih erat,” ujar Mohamed.
Dalam kesempatan ini juga membahas secara intensif pembentukan skema dana abadi Indonesia – UEA yang dikenal dengan istilah Indonesia Sovereign Wealth Fund.
“Saran PEA, terutama dilihat dari perspektif investor, akan kami hargai,” ujar Jokowi.
Baca juga: Jokowi Ingin Duta Besar RI Berperan sebagai Duta Ekspor
Bangun instrumen investasi syariah
Kepada DW Indonesia, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, menyampaikan bahwasanya pemerintah Indonesia harus menyiapkan skema investasi syariah untuk mendukung keberlangsungan komitmen investasi dari negara-negara di Timur Tengah. Musababnya, negara-negara Timur Tengah menggunakan prinsip investasi syariah dalam menjalankan perjanjian-perjanjian bisnis mereka.
“Pernah kejadian yang sama dengan Saudi Arabia. Dulu dia komitmemen investasi dalam jumlah besar akhirnya banyak yang batal karena ekosistem keuangannya (syariah) ngga siap,” terang Bhima saat diwawancarai DW Indonesia, Senin (13/01) sore.
Baca juga: Lawatan Raja Arab Saudi ke Indonesia Diharap Bawa Investasi Hingga US$25 Miliar
Hadirnya investasi dari UEA diharapkan dapat memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mandek di angka 5 persen. Investasi UEA juga dinilai dapat menyerap tenaga kerja yang lebih banyak di sektor manufaktur karena terbukanya proyek-proyek investasi yang ada.
Bhima menambahan bonus demografi yang dimiliki Indonesia saat ini menjadi keunggulan tersendiri dalam upaya menggaet negara-negara lain berinvestasi.
“Indonesia ini pasar yang menarik, kita mengalami bonus demografi yang berarti populasi kita masih muda dan produktif sehingga investasi yang ditanamkan profitnya atau returnnya relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara Asia atau berkembang lainnya,” papar Bhima.
Picu negara Timur Tengah lainnya berinvestasi di Indonesia?
Tak hanya investasi di sektor ekstraktif seperti mingas dan petrokimia yang menjadi spesialisasi negara-negara Timur Tengah, terjalinnya kerja sama di sektor lain salah satunya pendidikan, dirasa bisa menjadi sumber eknomi baru bagi UEA.
“Harapannya ini juga memunculkan sumber-sumber ekonomi baru bagi UAE karena mereka bisa mendiversifikasikan keluar dari sektor yang selama ini mereka bergantung pada migas," ujarnya.
Masalah regulasi serta proses perizinan di Indonesia juga kerap menjadi penghalang investor-investor asing untuk merealisasikan komitmen mereka di Indonesia. Namun, bila masalah tersebut bisa dibenahi pemerintah dan hubungan kerja sama antara Indonesia - UEA dapat terjalin optimal, tak menutup kemungkinan bisa mendorong negara-negara Timur Tengah lainnya untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
“Negara-negara Timur Tengah lain seperti Qatar, itu potensial, mereka bisa berinvestasi di Indonesia karena harapannya kalau dilihat dari kawasan yang masih relatif stabil pertumbuhan ekonominya adalah Asia Tenggara khususnya Indonesia," imbuh Bhima.
Terlepas dari agenda kerja sama yang terjalin, Bhima pun menekankan bahwa kedaulatan ekonomi harus jadi prioritas utama pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kondisi perekonomian negeri.
“Jadi agenda dibalik investasi ini mohon sekali benar-benar dicerna dengan hati-hati sekali. Kita butuh investasi tapi kualitas investasi kemudian kedaulatan ekonomi Indonesia juga harus jadi prioritas utama,” pungkas Bhima sekaigus mengakhiri wawancara dengan DW Indonesia.
Berdasarkan data BKPM tahun 2019, diketahui lima negara dengan investasi terbesar di Indonesia dari sisi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) antara lain, Singapura dengan US$ 1,7 miliar, Jepang dengan US$ 1,2 miliar, Cina dengan US$ 1,1 miliar, Hong Kong dengan US$ 0,7 miliar, dan disusul Belanda dengan US$ 0,4 miliar.
Baca juga: Bagaimana Ulama Wahabi Terbelah Soal Penawaran Saham Aramco
rap/vlz (dari berbagai sumber)