Memahami Poligami Menolak Selingkuh
28 Agustus 2017"Teman-teman Muslimah jangan terpancing dan tersulut berita poligami, ya. Satu kata keluar dari mulut kita mencerca poligami, artinya kita mencerca Alquran. Jika sesama Islam sendiri saling serang antar sesama. Yang bersorak-sorai siapa hayooo?” Demikian status bernada kekhawatiran dengan ancang-ancang membela poligami beredar di Facebook.
Bisa dipahami, sejak kasus poligami yang dilakukan penyanyi religi Opick mengemuka, kaum penentang poligami seperti mendapat angin. Asumsi bahwa Opick melakukan poligami hanya demi nafsu-nafsu menjadi counter point dalam menentang poligami: jangan mimpi menjalani poligami yang membawa kemaslahatan bagi semua pihak yang tersangkut kalau dari awal istri yang dimadu sudah disakiti dan marah.
Dalam kasus Opick, sang istri Dian Rositaningrum menggugat cerai sang penyanyi. Tak hanya itu, ia pun mempermalukan Opick lewat curahan hatinya yang ditulis panjang dan detil di media sosial. Satu yang paling pedas dari tulisannya yang cukup panjang: poligami tidak semudah memuntahkan sperma pada lubang yang baru. Kemarahan Dian mewakili kemarahan kaum perempuan yang (takut) mengalami hal serupa, mereka yang menyaksikan bahwa para istri dipaksa menerima poligami dengan alasan agama, mereka yang takut dihakimi sebagai perempuan yang tak mengutamakan ketaatan pada agama yang sesungguhnya membolehkan poligami dengan aturan tertentu.
Poligami solusi jitu?
Dalam hubungan suami dan istri, poligami dianggap menjadi solusi jitu bagi pria yang tak cukup bahagia menikahi satu istri. Kata kunci dalam poligami yang mengutamakan syarat ‘menikah' ssesungguhnya memuliakan konsep poligami dan memberi kepastian status pada istri-istri sebagai perempuan yang sah dinikahi--setidaknya secara agama. Tak seperti selingkuh yang dilakukan secara diam-diam, poligami memberikan ruang bagi setiap istri untuk mendapatkan kehormatan yang sama; yang satu tak lebih jumawa daripada yang lain, yang lain tak hanya menjadi perempuan yang diam-diam dikunjungi saat si lelaki punya waktu luang.
Dengan mengacu ‘lebih baik berpoligami daripada berselingkuh' poligami pun memiliki pendukung yang militan. Kemunculan Komunitas Poligami Sakinah, misalnya, menjadi gambaran bahwa pendukung poligami membutuhkan pengakuan di masyarakat. Mereka tak mau dianggap marjinal apalagi dengan jelas aturan agama membolehkan praktik poligami. Mereka seakan-akan hendak berteriak pada dunia: mengapa harus malu berpoligami?
Teknologi juga menyatukan mereka yang memiliki visi yang sama. Aplikasi AyoPoligami hadir di Google Play Store. Aplikasi yang menampilkan gambar seorang lelaki dengan empat perempuan adalah platform impian bagi pelaku poligami di Indonesia. Inilah tempat yang mempertemukan pria dengan perempuan-perempuan yang bersedia dipoligami, baik yang masih gadis atau sudah janda. Aplikasi AyoPoligami ini sesungguhnya tak beda dengan aplikasi kencan pada umumnya. Aplikasi yang mengusung slogan 3C Cari, Chat, Cocok dan Silaturahmi menambah deretan platform sejenis yang lebih dulu populer, seperti SecondWife.com atau Polygamy.com. Intinya pria yang mencari perempuan yang mau dipoligami setiap hari semakin dimudahkan, meskipun resistensi terhadap mereka tetap ada dan selalu ada.
Di luar soal kemuliaan poligami yang tak mau saya perdebatkan, kasus penyanyi religi Opick sesungguhnya membukakan mata kita akan peliknya urusan poligami. Dalam tataran ideal pernikahan poligami yang memenuhi semua persyaratan, konsep poligami bukan tak mungkin dijalani dengan ikhlas dan berpotensi membawa kebahagian pada setiap pihak yang terlibat.
Ada yang rela berbagi?
Dalam kenyataannya toh memang ada perempuan-perempuan yang rela membagi satu suami bahkan saling menyayangi antara satu istri dengan yang lain. Ada pula suami yang mampu bersikap adil dan menafkahi sejumlah istri dan anak. Kondisi seperti ini tentunya menjadi impian pria pelaku poligami. Tapi yang sering terjadi sebenarnya terwakili dalam curahan hati istri Opick, pernikahan poligami yang dilakukan suaminya tak lebih hanya sebuah perselingkuhan yang dipaksakan diberi label poligami.
Pernikahan yang dilakukan diam-diam dengan perempuan yang Dian kenal sebagai penyanyi latar suami, dan hubungan yang mungkin (mendekati) zina sejak sebelum pernikahan sesungguhnya bukan pernikahan poligami yang akan membawa kebaikan bagi semua pihak.
Perempuan rentan dibenturkan pada konflik-konflik yang seringkali terjadi bukan karena kesalahan mereka. Dalam pernikahan poligami, mereka dituntut memahami kebutuhan suami. Ketika mempertanyakan poligami, selain dituduh tak taat agama, mereka disodori alternatif mengenaskan: 'Lho, daripada diselingkuhi ya mending dikawini, toh?'
Seakan-akan tugas perempuan hanya memenuhi kebutuhan suami, mengutamakan apa yang menjadi keinginan suami, dan seikhlas mungkin mengikuti langkah suami meskipun keputusan yang diambil menyakiti eksistensinya sebagai istri sah dan merisikokan kesejahteraan anak-anak yang telah lahir dari pernikahan. Padahal setiap istri sesungguhnya berhak berharap pernikahannya tetap dalam koridor satu orang suami dan satu orang istri, termasuk tak diselingkuhi suami apapun alasannya.
Penulis:
Uly Siregar (ap/hp) bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.
@sheknowshoney
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.