Seperti tahun-tahun sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengeluarkan laporan tahunan mengenai situasi perdagangan manusia di seluruh dunia. Laporan yang bertajuk "Trafficking in Person Report” ini berisi tinjauan situasi masing-masing negara mengenai kasus perdagangan manusia dan bagaimana negara tersebut meresponsnya, sehingga dari kasus dan respons negara tersebut, Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat mengeluarkan pemeringkatan.
Peringkat Tier 1 disematkan untuk negara-negara yang berhasil menangani kasus perdagangan manusia, Tier 2 disematkan pada negara-negara yang memiliki perangkat legal untuk memerangi perdagangan manusia namun masih belum maksimal, Tier 2 Watch-List adalah negara-negara yang memiliki perangkat legal namun dianggap gagal untuk menggunakan dalam memerangi perdagangan manusia dan yang terburuk adalah Tier 3 untuk negara-negara yang dianggap gagal total menangani kasus perdagangan manusia dan tidak memiliki kemauan politik.
Laporan tahun ini yang diluncurkan pada tanggal 24 Juni 2019 juga dilengkapi dengan profil orang-orang dari berbagai benua dan berbagai profesi (baik aparat negara maupun aktivis masyarakat sipil) yang dianggap berjasa dalam upaya memerangi perdagangan manusia.
Sebagai benchmark dalam inisiatif perang melawan perdagangan manusia, laporan ini dengan segala kelemahan dan subjektifitas yang dimiliki, patut menjadi panduan juga bagi pemerintah Indonesia terutama dalam kebijakan tentang penempatan pekerja migran ke luar negeri. Dalam laporan tahun ini negara-negara yang berkategori riskan (yaitu Tier 2 Watch List dan Tier 3) termasuk di antaranya negara-negara yang selama ini menjadi tujuan bekerja pekerja migran Indonesia yaitu Brunei Darusallam, Malaysia (keduanya masuk Tier 2 Watchlist) dan Saudi Arabia (Tier 3).
Dimana posisi Indonesia?
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Indonesia masih saja bertengger di peringkat Tier 2 dengan narasi yang sama: "memiliki perangkat legal untuk memerangi perdagangan manusia tetapi memiliki keterbatasan kapasitas dan ketidakseriusan aparat penegak hukum dan peradilan untuk menjadi elemen utama dalam memerangi perdagangan manusia”.
Sejujurnya harus dikatakan bahwa makin banyak perangkat legal yang menjadi senjata untuk memerangi perdagangan manusia selain UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Manusia. Namun perangkat-perangkat legal ini tidak dimaksimalkan oleh aparat penegak hukum untuk mengakhiri kejahatan terorganisir lintas negara ini.
Selain itu, secara global, sejak tahun 2015, perang melawan perdagangan manusia makin diperkuat dengan inisiatif "Sustainable Development Goal” yang secara khusus menempatkan tujuan mengakhiri perbudakan modern ada dalam Goal 8.7: kerja layak baru tercapai jika tidak ada lagi praktik perbudakan modern (termasuk di dalamnya perdagangan manusia dan pekerja anak). Dalam komitmen global ini, Indonesia juga telah mengadopsinya bahkan juga telah memiliki "Rencana Aksi Nasional untuk Pencapaian SDGs”. Sebenarnya dengan kelengkapan perangkat legal dan komitmen global, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tetap berada pada Tier 2 selama satu dekade ini.
Dari hasil kajian kritis kinerja aparat penegak hukum dan kasus-kasus perdagangan manusia yang terjadi di Indonesia oleh Migrant CARE dan lembaga-lembaga advokasi lainnya, teridentifikasi bahwa selain belum adanya pemahaman dan komitmen yang sama di kalangan penegak hukum mengenai perang melawan perdagangan manusia, teridentifikasi pula adanya peran lembaga peradilan yang acapkali putusannya melukai korban dan melestarikan impunitas bagi para pelaku perdagangan manusia. Dalam tiga tahun terakhir ini, penanganan kasus perdagangan manusia yang marak di Nusa Tenggara Timur dan Batam, ujungnya menjadi antiklimaks meski secara kasatmata memperlihatkan keterlibatan aparat negara (polisi, imigrasi, dinas tenaga kerja).
Pekerjaan Rumah Jokowi
Tentu ini menjadi PR penting bagi pemerintahan Jokowi periode kedua yang mendeklarasikan bahwa pembangunan manusia Indonesia menjadi prioritas.
Dalam perspektif penghormatan terhadap hak asasi manusia, pembangunan manusia Indonesia hendaknya bertumpu pada pemulihan martabat manusia dan bukan mengorientasikan manusia Indonesia hanya sebagai "sumber daya manusia” mesin penggerak pembangunan. Berulang kali Presiden Jokowi menegaskan pentingnya sekolah kejuruan dan pemagangan sebagai kawah candradimuka peningkatan sumberdaya manusia. Tentu ini patut didukung, namun inisiatif tersebut harus dibarengi dengan jaminan perlindungan dan prinsip anti perdagangan manusia.
Sepanjang tahun 2016 hingga 2018, Migrant CARE menemukan kasus pemagangan yang melibatkan siswa SMK dan universitas yang memiliki dimensi perdagangan manusia. Dua kasus yang mencuat ke media massa adalah kasus perbudakan industri pengolahan sarang burung walet yang melibatkan ratusan siswa SMK lulusan Jawa Tengah dan dugaan perbudakan terhadap praktik magang mahasiswa Indonesia di Taiwan.
PR lain yang juga perlu menjadi perhatian serius adalah menghentikan angka perdagangan manusia yang semakin melonjak di wilayah Nusa Tenggara Timur, dengan tidak mengabaikan kerentanan di wilayah lain serta maraknya kembali praktik perkawinan semu (mail bride order) yang dialami perempuan asal Kalimantan Barat dengan laki-laki dari wilayah Cina daratan dan Taiwan.
@wahyususilo
Pendiri Migrant CARE, sekaligus bekerja sebagai analis kebijakan di lembaga tersebut. Tahun 2007, meraih Hero-Acting to End Modern Slavery Award dari Department of State USA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
Kami tunggu komentar Anda di sini.