Memperebutkan Suara Konservatif
28 Maret 2014Awal Mei 2011, Anis Matta -- yang kini presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) -- membuat puisi puja-puji untuk Osama bin Laden:
Osama...
Kamulah yang mengunci mulut bangsa-bangsa adidaya,
Supaya mereka terdiam
Maka mereka hanya bisa mengamuk…
Maret 2014, saat pidato hari pertama kampanye, Anis Matta tampil trendi dengan kemeja putih lengan digulung dan celana jeans. Wajahnya klimis tanpa jenggot. Jauh dari gambaran pemimpin partai dakwah yang disebut “dekat secara ideologis“ dengan Ikhwanul Muslimin.
“Saat ini konsep PKS terbuka dan menerima segala golongan… PKS ingin memimpin Indonesia. Kita ingin masuk ke seluruh segmen, konstituen dan lapisan,” kata Anis Matta.
Tak banyak retorika Islam, kampanye yang dihadiri lebih dari seratus ribu kader dan simpatisan itu bahkan menampilkan paduan suara gereja dari Ende, Nusa Tenggara Timur yang menyanyikan mars PKS.
“Ini adalah tahun paling sulit bagi PKS… karena kasus yang dihadapi mantan presiden mereka Luthfi Hasan Ishaaq, dan Fathanah, bukan hanya menciderai jantung kredibilitas PKS di mata publik, tapi juga menciptakan demoralisasi di kalangan kader,” Kata Burhanuddin Muhtadi, seorang pengamat politik yang menulis buku ”Dilema PKS” kepada Deutsche Welle.
Luthfi Hasan Ishaaq, presiden PKS, tahun lalu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas tuduhan menerima suap impor daging sapi. Kasus itu semakin menyita perhatian publik karena uang yang diduga hasil korupsi juga mengalir ke sejumlah perempuan muda.
Kasus korupsi, “memaksa” partai Islam peraih suara terbanyak dalam dua pemilu terakhir ini mengambil jalan semakin pragmatis, dengan berusaha merebut “pasar tengah” yang selama ini dikuasai partai nasionalis.
“Pada titik itu ideologi tidak penting… sebagian besar partai politik memakai pendekatan yang disebut dengan catch all party yakni partai pemburu semua suara. Pada titik itu, PKS yang awalnya berada di sudut paling kanan, mau tidak mau harus bermigrasi, bertarung dengan partai-partai lain yang juga memperebutkan segmen di tengah yang didominasi kalangan swing voters,” kata Burhan.
Sejarah menunjukkan gabungan suara partai Islam tak pernah dominan secara elektoral. Pada pemilu pertama 1955, partai-partai Islam meraih 43,7%. Selama Orde Baru, raihan suara PPP yang merupakan fusi dari seluruh partai Islam, hanya pernah meraih suara tertinggi 29%.
Pemilu 1999 jumlah suara seluruh partai Islam 36,8%, pada 2004 naik tipis menjadi 38,3%. Terakhir, pada 2009 suara partai-partai Islam turun menjadi 29,2 persen.
Tapi pertanyaan yang muncul kemudian, apakah pergeseran ke tengah ini menandai moderasi di dalam partai Islam yang dikenal ideologis tersebut? Bagi Burhan, jawabannya adalah tidak.
Strategi dua muka
PKS melakukan pendekatan double track strategy, kata Burhan. Pada satu sisi mereka merawat konstituen Islam konservatif yang selama ini menjadi tulang punggung partai dengan tetap menjaga isu-isu konservatif ke dalam – antara lain lewat isu Palestina, anti Israel dan Amerika – yang terus digemakan lewat Liqo (lingkaran pengajian kecil kaderisasi) serta berbagai kegiatan pengkaderan internal partai lainnya.
Tapi saat yang sama, elit PKS juga sadar bahwa pemilih dengan ciri konservatif dan ortodoks semacam ini tidak banyak. Karena itu ketika ke luar – kata Burhan –mereka memakai pendekatan universal dengan melepas politik identitas dan pendekatan konservatif yang selama ini mereka pakai di dalam.
”Jadi double track strategy itu pendekatan Islamis mereka pakai ke dalam, tapi ketika menyapa pemilih di luar, mereka memakai pendekatan non Islamis”.
Target PKS, kata Burhan, sebagaimana partai-partai lainnya adalah merebut suara tengah yang didominasi swing voters, yang menurut data berbagai lembaga survey jumlahnya berkisar antara 35 hingga 40 persen. Inilah yang menjadi sumber perebutan diantara partai dalam pemilu 2014.
Potret kaum tengah yang sebagian besar belum menentukan pilihan ini, kata Burhan, adalah “para pemilih yang menolak gagasan Islam sebagai ideologi negara, tapi mereka menerima Islamisasi ruang publik”.
Islamisasi ruang publik yang dimaksud, kata Burhan, lebih bersifat simbolik, misalnya lewat jilbab, pengajian dan berbagai ekspresi keberagamaan lain yang ditampilkan di muka umum. Meski cenderung konservatif, tegas Burhan, tapi mereka tidak setuju jika Islam dijadikan dasar Negara.
Penjelasan Burhan ini terkonfirmasi lewat berbagai survei yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia semakin konservatif.
Jika PKS berusaha tampil moderat, maka partai-partai yang ada di tengah, sebaliknya ingin terlihat lebih ”Islami”.
Ahli Indonesia dari Universitas Ohio, Amerika Serikat, R. William Liddle, juga menangkap pergeseran ini.
“Ada kecenderungan partai tengah seperti Golkar sekarang semakin ke kanan. Saya khawatir Golkar menjadi ke-Islam-Islaman (secara aspirasi politik-red),“ kata Bill Liddle, dalam percakapan dengan Deutsche Welle beberapa waktu silam.
Bill mengingatkan, sejak dulu Golkar lebih populer di daerah daripada di Jawa, dan kantung suara partai itu diisi oleh suara para santri.
Ketika terjadi perpecahan di partai beringin tahun 1999, kelompok non santri seperti Edi Sudradjat angkat kaki. Akibatnya, yang tinggal adalah orang seperti Akbar Tandjung yang punya jaringan santri, tambah Liddle. Akbar Tandjung dikenal sebagai politisi yang berasal dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
“Jadi Golkar sejak 1999 sudah menjadi lebih Islami ketimbang sebelumnya,“ kata Liddle sambil menambahkan bahwa dirinya sudah lama menyaksikan partai besar seperti Golkar dan Demokrat, memposisikan diri untuk menampung “aspirasi Islam“.
“Bahkan ada pemimpin Golkar yang bilang kepada saya: kami ingin dianggap ramah terhadap Islam. Misalnya dalam Undang-Undang Pornografi, Golkar mendukung undang-undang itu dengan tujuan agar suara umat Islam masuk ke mereka.“
Tapi, tak ada yang ideologis dalam “wajah Islam“ yang ditampilkan Golkar atau Demokrat, kata Kuskrido Ambardi, pengamat politik Universitas Gajah Mada (UGM) kepada Deutsche Welle. Alasannya, kedua partai itu tidak pernah menjadikan Syariah sebagai agenda perjuangan.
“Itu hanya strategi catch all saja bagi Golkar dan Demokrat. Golkar sejak lama memang punya barisan ulama dan santri. Tapi itu bukan ciri partai Islam tapi ciri partai catch all: semua kelompok didekati, karena tujuannya adalah mengumpulkan suara sebanyak-banyaknya,” kata dia.
Partai Islam dan partai tengah Indonesia memang mempunyai halaman yang sama, kata Kuskrido Ambardi: ”Pada titik konservatisme kultural, ada irisan antara partai Islam dengan partai Nasionalis“.
Itulah yang menyebabkan kampanye partai kini menyasar suara itu: kelompok tengah yang semakin konservatif.