Samurai Blue tersayat di Qatar. Pedih sebab via adu penalti. Korea? Lebih perih, disiksa exotic team Brasil. Kini, dunia ketiga menaruh asa besar untuk Maroko.
Saya under-line tebal: untuk Maroko, negeri jazirah Arab di Afrika Utara, harapan terakhir dunia ketiga di pentas Piala Dunia 2022 di Qatar yang megah dan wah.
Mesti, sebab sepak bola kerap berlaku tidak adil untuk dunia ketiga. Selalu begitu.
Kecuali pencapaian Korea Selatan ke semifinal Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang, sejak itu pula tak pernah ada 'tim-tim kecil' menyeruak 'tim-tim besar'.
Sepak bola hanya milik tim yang secara klasik selalu jadi langganan perempat-final, semifinal, final dan juara.
Lihat Qatar 2022 saat perempat-finalis sudah diisi Belanda, Argentina, Inggris, Prancis dan baru saja Kroasia dan Brasil.
Apakah adagium unik sepak bola; menang tua, memang berlaku? Adagium yang "tidak membolehkan" tim kecil berprestasi besar?
"Tidak. Kami ingin lanjut, meneruskan catatan sejarah indah ini," ucap Yousef en-Nesyri, tombak Maroko asal Sevilla.
Dan inilah duel mereka vs Spanyol di Education City, di Al-Rayyan, Qatar, Selasa (6/12). Duel saat semua orang menantikan: apakah Singa Atlas bisa menabrak adagium unik tadi.
En-Nesyri sudah memberi isyarat: Maroko bisa ke perempat-final, mungkin juga semifinal bahkan juara.
Tidak ada yang tidak mungkin. Bukankah fase grup sudah menjelaskan sangarnya Singa Atlas?
Maroko tidak terkalahkan. Mereka mendepak Belgia dan Kanada dengan determinasi tinggi, selain imbang versus Kroasia.
Adalah skuad Walid Regragui yang dihuni pemain berhati lembut dengan kawat baja.
Belgia diruntuhkan 2-0 lewat aksi apik dan dua gol keren di ujung babak kedua. Kanada digilas 2-1, juga lewat aksi ciamik. Versus Kroasia, finalis Rusia 2018, imbang tanpa gol.
Maroko ke second round, tim kedua Afrika setelah Nigeria yang tiba di perdelapan final dengan status juara grup.
Tapi ada imbuhannya: Maroko mendapatkan semua ini dengan sederet pemain berdisiplin hebat, dan dengan pelatih hebat.
Walid Regragui adalah pelatih Maroko. Dia in-charge menggantikan beban pelatih Bosnia, Vahid Halilhodzic tiga bulan sebelum Qatar 2022.
Dialah yang memompa hati 26 nama yang dibawa ke Qatar--- tiga dari klub lokal dan sisa 23 pemain diramu dari berbagai klub di Spanyol, Jerman, Inggris, Prancis, Qatar, Jordania hingga Arab Saudi.
Nama-nama hebat dengan hati lembut, tapi bertarung bak baja. Achraf Hakimi, defender Paris Saint Germain, misalnya. Dia beraksi sangat impresif saat berlaga versus Kroasia, Belgia dan Kanada. Hebatnya, usai laga, selalu menghampiri ibunya yang tak henti berteriak di tribun. Pelukan Achraf, yang dibesarkan susah payah, sungguh humanis. That is true one love.
Ada juga aksi Hakim Ziyech, flanker Chelsea yang berkali-kali mengundang decak kagum. Dan dia, yang menghibahkan hadiah MoM untuk orang tak mampu di Rabat sana, mengundang jempol.
En-Nesyri, Hakimi, Ziyech adalah potret anak-anak Maroko yang total. Sama seperti totalnya rakyat Maroko mendukung perjuangan skuad Regragui, dan bahkan tambahan tiket 5000 lembar pun tak cukup menampung dukungan langsung di Qatar.
Spanyol, memang, satu dari tim elit Eropa dengan reputasi besar, termasuk juara di AfSel 2010. Di situ, ada Luis Enrique yang hebat strategi, ada Morata yang lapar gol, ada anak muda bernama Pedri yang paling sibuk bersama La Furia Roja.
Tapi catat, mereka bertarung melawan Maroko di Jazirah Arab, bertarung di depan belasan ribu fans Singa Atlas dan duel versus Maroko yang bermain dengan hati, dengan semangat baja, dengan totalitas keren dan dengan fokus hebat.
Kita menantikan laga hebat ini, laga yang bisa menabrak adagiun unik sepak bola, atau sebaliknya.
Hardimen Koto: pengamat, analis dan komentator sepak bola
*tulisan ini menjadi tanggung jawab penulis.