Mencari Definisi Kebahagiaan
6 Agustus 2008Para ilmuwan secara sistematis mencari jawaban atas pertanyaan apa kebahagiaan itu? Apakah kebahagiaan dapat diukur? Apakah kemampuan untuk berbahagia dapat dipelajari? Untuk menjawabnya para biolog, sosiolog dan psikolog terus mencarinya secara ilmiah.
Penelitian modern mendefinisikan kebahagiaan sebagai momentum yang bukan eforia yang lenyap dalam sekejap. Kebahagiaan dimengerti sebagai kehidupan yang paripurna. Jadi bukan masalah bakat. Strateginya dapat dipelajari. Misalnya dengan meditasi, merasa bersyukur atas apa yang diperoleh, belajar memaafkan orang lain, menetapkan sasaran yang realistis dan menjalani kehidupan dengan optimis. Berbagai penelitian selama ini menunjukkan, berbagai tindakan positif itu, memberikan kontribusi bagi kebahagiaan.
Peneliti kebahagiaan dari Universitas Harvard Tal Ben-Shahar yang selalu mempaparkan pengalaman mencari kebahagiaan ini dalam ceramah-ceramah ilmiahnya, mengatakan ia menemukannya melalui jalan berliku-liku. Dimulai dari frustrasi setelah memenangkan kejuaraan olahraga Squash, Ben-Shahar akhirnya dapat memformulasikan kebahagiaan berdasarkan ilmu yang ditekuninya, yakni psikologi.
Tal Ben- Shahar mengatakan : “Saya selalu berpikir, jika dalam turnamen mendatang menang, saya akan merasa bahagia. Tapi setiap kali jika saya memenangkan pertandingan, terjadi hal yang sama. Saya memang bahagia, tapi tidak bertahan lama, paling-paling dua hari dan maksimal seminggu. Setelah itu saya kembali merasa tidak bahagia. Akhirnya saya sadar, pasti ada sesuatu yang datang dari luar, yang membuat kebahagiaan saya hanya sekejap saja.“
Tal Ben-Shahar akhirnya belajar psikologi, dengan spesialisasi penelitian kebahagiaan. Sebuah cabang keilmuan baru yang dipelajari secara intensif sepuluh tahun terakhir ini. Inilah yang disebut psikologi positiv yang menandai sebuah perubahan besar dalam ilmu psikologi. Karena selama ini para psikolog lebih banyak menangani sisi yang tidak menyenangkan dalam kehidupan manusia. Seperti ketakutan tidak beralasan, depressi atau perasaan tidak tenang.
Tal Ben Shahar mengatakan, ketika pertama kali mengajar mata kuliah mengenai kebahagiaan, hanya delapan mahasiswa yang hadir, dua diantaranya keluar ruangan di saat ia masih memberikan materi pelajaran. Tapi pada tahun berikutnya, jumlah mahasiswa yang hadir mencapai 300. Dan pada tahun ketiga, 900 mahasiswa berebut tempat untuk mendengarkan kuliah Ben-Shahar, mengenai strategi untuk memperoleh kebahagiaan dengan pendekatan ilmiah.
Dalam dekade terakhir ini, cabang keilmuan Psikologi Positiv semakin populer. Penyebabnya, terdapat kebutuhan untuk menggali sisi menyenangkan dari kehidupan. Tidak hanya sekedar tema yang menyangkut rasa tidak tenang dan ketakutan, atau bagaimana mencegah sindroma burn out dan mengurangi stress. Melainkan juga hal-hal yang berkaitan dengan perasaan bahwa hidup itu memiliki arti dan nilai.
Berbagai hasil penelitian ilmiah mengenai kebahagiaan itu dipublikasikan dalam jurnal penelitian kebahagiaan. Jurnal ilmiah ini merupakan satu-satunya publikasi dari bank data kebahagiaan di institut untuk sosiologi Universitas Erasmus di Rotterdam Belanda. Ruut Veenhoven mendirikan bank data kebahagiaan ini pada tahun 1990.
Veenhoven menceritakan bagaimana reaksi dari rekan-rekannya di Universitas Erasmus ketika itu : "Rekan-rekan saya ketika itu skeptis. Tapi di sini terdapat budaya, setiap orang dapat melakukan apa yang ia inginkan. Kita tidak mendapat anggaran, tapi memperoleh kebebasan waktu. Sekarang, semua mengatakan gagasan saya memang berharga.“
Bank data kebahagiaan adalah kumpulan data-data empiris, perbandingan dari berbagai negara. Di negara mana warganya paling bahagia? Peringkat nomor satu ditempati Denmark, disusul di posisi kedua Austria dan ketiga Swiss. Banyak hasil penelitian yang sulit dijelaskan secara ilmiah, demikian kata Ruut Veenhoven. Misalnya rasa bahagia individu pada anak-anak justru berdampak merugikan. Dan dalam berbagai kasus, pengaruh budaya atau sastra pada rasa bahagia warga samasekali tidak bisa diukur secara empiris.
Veenhoven menjelaskan lebih lanjut : “Ini berkaitan dengan kualitas kebudayaan di negara bersangkutan. Terdapat negara dengan seni kehidupan, seperti misalnya di Amerika Latin. Kualitas puisi dan kesusastraan tidak dapat kita nilai dengan angka, karena itu efeknya tidak dapat saya perhitungkan.“
Hal serupa juga diungkapkan Ed Diener, psikolog dari Universitas Illinois di AS. Diener melakukan penelitian dengan metode jajak pendapat terhadap warga dengan berbagai latar belakang budaya yang berbeda, misalnya kaum Masai di Tanzania dan penghuni kawasan kumuh di Kalkutta. Kesimpulannya, apa yang membuat seseorang bahagia, amat tergantung dari budaya dan sistem kemasyarakatan di kawasan bersangkutan. Ed Diener menyebutkan contohnya, ketika ia menanyakan kepada seorang wanita India di kawasan kumuh Kalkutta, apakah ia bahagia, jawabannya yang diberikan amat mengejutkan, karena wanita itu mengatakan yang tahu hal itu adalah suaminya. Pertanyaan mengenai perasaan harga diri, dijawab bahwa hal itu tidak penting. Yang penting adalah, sebagai istri ia bisa memasak dan melakukan pekerjaan rumah tangga.
Juga perbedaan budaya menyulitkan perbandingan tingkat kebahagiaan. Para peneliti kebahagiaan mempertanyakan, jika dari berbagai budaya yang berbeda seseorang disebutkan sebagai bahagia, apakah ia sendiri memang merasa bahagia? Hasil penelitian lebih lanjut amat mengejutkan. Warga Eropa barat dan Amerika Serikat, paling tidak memiliki kemiripan dan sepakat dengan penilaian dari budaya lainnya, bahwa mereka memang bahagia. Tapi warga Cina menanggapinya secara berbeda. Bagi warga Cina, perasaan bahagia itu adalah rasa tenang, damai dan situasi kebatinan yang santai yang hanya dimengerti diri sendiri.