Mencari identitas WTO
29 Januari 2013Roberto Carvalho de Azevêdo, Anabel González, Herminio Blanco, Mari Elka Pangestu, Taeho Bark, Amina Mohamed, Alan John Kwadwo Kyerematen, Tim Groser, Ahmad Thougan Hindawi - mungkin hanya orang kalangan dalam yang mengenal nama-nama ini. Mereka berpeluang menggantikan Pascal Lamy, Dirjen Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang tahun ini habis masa tugasnya.
Tapi sebelumnya, kesembilan orang ini harus menjawab sejumlah pertanyaan dan memperkenalkan visi mereka untuk masa depan WTO. Dan yang mungkin lebih penting lagi: mereka harus punya nafas panjang. Proses pemilihan direktur jenderal WTO yang dimulai akhir Januari (29.-31. Januari) bisa berlangsung sampai tiga bulan. Terlepas dari panjangnya proses seleksi ini, para calon dirjen sadar, bahwa tugas berat masih menanti mereka: jika terpilih, direktur jenderal yang baru bertanggung jawab menyelamatkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Selamat tinggal, Doha!
Tahun 2001, anggota WTO memandang masa depan dengan sangat ambisius dan optimis. Di Doha mereka meletakkan dasar untuk putaran perundingan baru yang dikenal sebagai putaran perundingan Doha. Targetnya: membuka akses bagi semua anggota ke pasar dunia, menguatkan perdagangan internasional melalui penurunan bea cukai dan penghapusan hambatan perdagangan dan dengan begitu meningkatkan kemakmuran di semua negara anggota. Terutama negara ambang industri berharap akan diuntungkan oleh rencana WTO ini. Ibukota Katar, Doha, diharapkan menjadi simbol bagi tatanan ekonomi baru yang bebas dan adil. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: putaran perundingan Doha diliputi kemandegan dan rasa kecewa mendalam. Seharusnya putaran perundingan ini rampung tahun 2005. Tapi delapan tahun setelahnya tetap tak ada hasil nyata.
"Semua orang tahu, bahwa putaran perundingan Doha sudah mati, tapi tak ada yang berani mengatakannya secara terbuka", demikian pakar WTO Simon Evenett dari Universitas St. Gallen, Swiss. Terutama negara ambang industri, khususnya negara agraris, hendak mempertahankan putaran perundingan ini. "Masalahnya, mereka tidak tahu, bagaimana sebaiknya menyetir proses perundingan ini, misalnya bagaimana caranya mendapatkan dukungan Amerika Serikat atau negara besar lainnya, " tambah Evenett. Kesimpulan yang ditarik Evenett: Doha ibarat zombie, tidak mati tapi juga tidak bisa dikatakan hidup.
Topik yang paling panas diperdebatkan adalah masalah pertanian. Ini menyebabkan perbedaan pendapat antara negara industri dan negara berkembang. Haruskah negara kaya menghapuskan subsidi pertaniannya? Pantaskah negara berkembang memberlakukan bea cukai atas impor barang untuk melindungi produksi dalam negeri?
Masalah utama putaran perundingan Doha adalah kompleksitasnya - 20 lebih topik bahasan harus dirundingkan: produk pertanian, industri dan layanan jasa harus diliberalisasi. Belum lagi usulan bagaimana mereformasi proses seleksi dan kebijakan yang meregulasi masalah kartel dan investasi luar negeri. "Selain itu, para negara anggota, yang dulu jumlahnya 155, memutuskan penggunaan prinsip 'single undertaking', artinya setiap poin perundingan harus diputuskan bersama oleh seluruh peserta perundingan. Ini membuat prosesnya semakin rumit, karena semua peserta harus menyetujui semua poin," jelas Ricardo Meléndez-Ortiz dari pabrik pemikir "International Centre for Trade and Sustainable Development". Sampai hari ini, WTO tetap tidak berhasil mengoreksi kesalahan dalam prosedur perundingan tersebut.
Perdagangan internasional - tanpa WTO
Kemandegan putaran perundingan Doha melahirkan sejumlah model saingan bagi perjanjian multilateral WTO: perjanjian perdagangan bebas muncul di mana-mana. Masalahnya: pihak yang terlibat perjanjian semacam ini harus pintar berunding. Memang, sebagian besar perjanjian bilateral ini berlandaskan pada asas dan hukum WTO, tapi pihak yang berunding tetap menentukan sendiri aturan mainnya - ini dapat berakibat tumbangnya keseimbangan kekuatan: "Perundingan antara kekuatan ekonomi besar dengan negara yang kecil dapat memunculkan perjanjian yang tidak adil, karena negara yang kuat memiliki pengaruh besar dan dapat menekan pihak lainnya. Karena itulah kita butuh WTO dan pendekatan multilateralnya, " kata Meléndez-Ortiz. Hanya dalam kerangka peraturan WTO negara kecil dan lebih lemah tetap terlindung, ditambahkan pakar WTO Evenett.
Dimulainya era baru
Sekarang waktunya untuk mengubah sesuatu, memulai kembali perundingan dalam lingkup lebih besar dan mencari solusi bersama: "Kita tidak dapat menunggu sepuluh tahun lagi. Ini akan membahayakan masa depan WTO. Negara anggota harus belajar menerima, bahwa putaran Doha sudah mati, harus ada putaran perundingan baru. Makin cepat, makin baik," demikian Evenett dari Universitas St. Gallen. Tapi agar ini terwujud, semua pihak harus siap untuk melakukan kompromi politik, tambah pakar perdagangan itu.
Solusinya mungkin dengan mencari jawaban untuk masalah yang lebih kecil: "Ada tendensi untuk tidak lagi bicara hanya tentang satu paket saja," dijelaskan Christian Tietje, profesor Universitas Martin-Luther di Halle. Ini memang tidak dibahas secara terbuka, tapi kebanyakan pihak sadar bahwa paket perundingan Doha terlalu besar dan rumit. "Karena itu, ada upaya untuk memilih topik tertentu, yang dinilai cukup penting untuk perdagangan internasional, misalnya soal teknis bea cukai, dan membahasnya secara terpisah untuk mencari solusi khusus," tukas Tietje.
Halo, Bali!
Ada peluang, bahwa untuk pertama kalinya seorang perempuan terpilih sebagai direktur jenderal WTO - kali ini ada tiga perempuan berpengalaman yang dicalonkan untuk posisi ini, termasuk di antaranya Mari Elka Pangestu yang pernah menjabat menteri perdagangan Indonesia. Asal usul para kandidat juga menunjukkan bahwa WTO ingin mengubah imejnya. Delapan dari sembilan kandidat dirjen berasal dari negara yang di lingkup WTO masih tergolong negara ambang industri. Selama ini, para calon berasal dari industri, dengan hanya satu pengecualian yaitu Supachai Panitchpakdi yang berasal dari Thailand.
Tapi terlepas dari siapa yang akhirnya menjabat direktur jenderal WTO, keputusan-keputusan yang penting tetap diambil para peserta Konferensi Tingkat Menteri. Konferensi berikutnya akan digelar di Bali, akhir tahun 2013. Semua pihak berharap bahwa konferensi ini akan berhasil memecah belenggu yang selama ini mengungkung putaran perundingan Doha. Sudah waktunya WTO keluar dari kebuntuan tahun-tahun terakhir.